Mempalsukan Barang Dagangan Dalam Perspektif Islam
DAARUTTAUHIID.ORG | Dalam dunia bisnis, kita sering melihat orang berlomba-lomba mencari keuntungan. Ada yang bekerja keras dengan penuh kejujuran, namun ada pula yang memilih jalan kebohongan dengan memalsukan barang, menutupi kualitas, atau memoles produk agar terlihat lebih baik dari kenyataannya. Tidakan semacam ini sangat ditentang dalam Islam.
Mempalsukan barang bukan hanya soal menjual produk tiruan. Ia bisa muncul dalam bentuk kecil yang kadang dianggap “biasa saja”, seperti menutupi cacat barang, mengubah label, mengganti tanggal kedaluwarsa, atau memberi informasi berlebihan agar pembeli terkesan.
Dalam ajaran Islam, tindakan seperti ini masuk ke dalam gharar (ketidakjelasan) dan tadlis (penipuan). Intinya, kita memberi gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga pembeli tidak membuat keputusan secara jujur dan utuh.
Allah Ta’ala telah menegur orang-orang yang berlaku curang melalui QS. Al-Muthaffifin ayat 1–3. Ayat itu bukan hanya tentang takaran dan timbangan, tetapi tentang perilaku merugikan orang lain demi keuntungan sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pun pernah memperingatkan dengan sangat tegas:
“Barang siapa menipu, maka ia bukan dari golongan kami.”
Zaman berubah, tetapi bentuk penipuan tetap sama. Bedanya hanya cara. Kita bisa menemukannya dalam produk KW yang dijual seolah asli, kosmetik yang dikemas ulang, makanan dengan tanggal kedaluwarsa yang dimanipulasi, hingga review palsu yang dipasang demi menarik konsumen. Ketika hal ini dianggap “biasa”, perlahan kita ikut menciptakan lingkungan bisnis yang tidak sehat.
Memalsukan barang hanya mendapat keuntungan sesaat, tetapi dampaknya jauh lebih besar dari yang terlihat. Kepercayaan pelanggan hilang, reputasi pedagang hancur, dan hubungan antar sesama pun terganggu. Lebih jauh lagi, rezeki yang diperoleh tanpa kejujuran tidak mendatangkan berkah.
Islam mengajarkan bahwa berdagang adalah ibadah. Karena itu, nilai-nilai yang dibawa pun harus sejalan dengan ibadah itu sendiri: jujur, amanah, terbuka, dan tidak menutupi cacat barang. Mengatakan kualitas apa adanya tidak akan mengurangi rezeki, justru memperkuat kepercayaan. Menetapkan harga sesuai mutu bukan berarti rugi, tapi menanam pondasi usaha yang kuat dan berkah.
Semoga kita termasuk orang-orang senantiasa beriman takut kepada Allah Ta’ala, baik dalam berdagang maupun dalam urusan lainnya. Karena dalam setiap kejujuran, ada ketenangan. Dan dalam setiap amanah, ada keberkahan.
