Meninggalkan Riba Dalam Praktik Bisnis
DAARUTTAUHIID.ORG | Dalam dunia bisnis, mencari keuntungan adalah hal yang wajar dan sah. Namun, Islam menegaskan bahwa keuntungan harus diperoleh dengan cara yang halal dan terhindar dari praktik yang dilarang, salah satunya adalah riba. Riba tidak hanya merusak keadilan dalam transaksi, tetapi juga menghilangkan keberkahan harta dan berdampak negatif bagi kehidupan sosial.
Secara bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan secara istilah, riba adalah tambahan yang diambil dalam transaksi pinjam-meminjam atau jual-beli dengan syarat tertentu yang bertentangan dengan syariat. Dengan kata lain, riba terjadi ketika seseorang memperoleh keuntungan tanpa adanya usaha yang jelas, melainkan hanya dengan memanfaatkan kebutuhan orang lain.
Larangan riba ditegaskan berulang kali dalam Al-Qur’an sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqqrah yang artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
“Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak melakukannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…” (QS. Al-Baqarah: 278–279)
Dalam sebuah hadits juga disebutkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Rasulullah melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan (membayar) riba, penulisnya, dan kedua saksinya.” (HR. Muslim)
Adapun dampak buruk riba dari praktik riba ialah menghilangkan keberkahan harta. Harta yang diperoleh dengan cara riba akan kehilangan keberkahannya, meskipun secara nominal bertambah. Selain itu juga Merusak Solidaritas Sosial. Praktik riba menjerat orang yang lemah secara ekonomi, sehingga memperlebar jurang kesenjangan sosial.
Selanjutnya ialah mendapat ancaman azab Allah. Al-Qur’an menggambarkan pemakan riba kelak akan dibangkitkan seperti orang yang kerasukan setan karena gila.
Dalam bisnis seharusnya bagi hasil mudharabah dan musyarakah, yaitu Keuntungan diperoleh melalui kerja sama antara pemilik modal dan pengelola usaha.
Pada intinya meninggalkan riba bukan sekadar kewajiban syar’i, tetapi juga langkah strategis untuk membangun ekonomi yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Dengan menghindari riba dan mengelola bisnis sesuai syariat, keberkahan, ketenangan, serta ridha Allah Swt. akan mengiringi setiap langkah usaha kita. (Arga)