Apik Kelola Stres

Seorang teman suatu saat berkeluh kesah tentang sikapnya yang akhir-akhir ini menjadi kurang perhatian, bahkan sering marah kepada anak-anaknya. Padahal ia menyadari, sikap itu bukanlah karakternya sesungguhnya. Dampaknya, ibu muda ini menjadi tidak tenang dan merasa bersalah pada anaknya. Ternyata, setelah ditelusuri lebih lanjut, stres yang menjadi penyebab ketidakseimbangan emosinya belakangan ini.

Ilustrasi tersebut sesungguhnya bukan hal yang langka terjadi pada kita, orangtua yang hidup pada zaman serba kompetitif ini. Tekanan pekerjaan, rutinitas mengurus anak dan keluarga, atau masalah lain  yang berada di luar kendali, membuat orangtua, terutama ibu yang bekerja menjadi stres alias tidak tenang, baik secara fisik, terlebih psikologis.

Respon Normal Tubuh

Sebenarnya, stres merupakan respon normal tubuh dalam menghadapi perubahan. Bahkan Allah SWT pun dalam al-Quran telah meyiratkan hal ini. Stres adalah fitrah manusia yang suka berkeluh kesah dalam menghadapi realita hidupnya, terlebih ketika kesulitan menghadang (QS. al-Ma’arij [70]: 19-22).

Rasulullah saw bahkan dalam menjalani kehidupan kerasulan pun pernah beberapa kali mengalami stres. Tentu dalam artian masalah yang sampai membuat beliau menjadi kurang tenang, misalnya ketika datang wahyu pertama di Gua Hira. Namun, beliau memiliki istri yang sangat pengertian dan mampu menghibur suami, sehingga Rasulullah pun tenang dan kembali percaya diri. Atau ketika beliau menginstruksikan sahabat untuk bercukur dan membatalkan umrah, sedang mereka menolak. Beliau sempat stres, tapi tidak lama karena solusi pun akhirnya datang dari salah seorang istri beliau yang menyarankan rasulullah untuk mencontohkan hal tersebut kepada para sahabatnya.

Untuk itu, penting pula bagi orangtua mengenali penyebab dan gejala stres, agar mampu segera mengambil tindakan terbaik dalam menangani stresnya. Gejala tersebut bisa terlihat dari fisik yang mudah letih, tidak nyenyak tidur, atau gejala psikis, misalnya perasaan gelisah, tertekan, atau tidak nyaman. Jika gejala ini mulai muncul, segera bertindak agar tidak berlarut dan tidak sampai melukai anak atau keluarga kita.

Kelola Stres

Namun, pada praktiknya, stres terkadang lebih banyak didominasi oleh persepsi negatif daripada positif. Akibatnya, emosionalnya menjadi kurang terkontrol, dan anaklah yang menjadi pelampiasannya. Padahal, jika kita merespon stres dengan sikap yang lebih positif, mampu mengendalikan emosi kita dengan apik, kondisi ini malah membuat energi kita berlimpah. Insya Allah membuat masalah yang tengah dihadapi bisa diselesaikan dengan optimal.

Sayangnya, mayoritas dari orangtua kurang pandai mengelola stresnya, sehingga anaklah yang menjadi salah satu pelampiasan emosi. Padahal sebagai orang beriman, segala permasalahan apa pun layaknya mampu diselesaikan dengan pikiran jernih dan emosi yang tertata. Bukankah semuanya telah diatur jelas dalam Quran dan sunnah?

Jika setiap orangtua rida atau menerima dulu apa pun yang telah terjadi, stres tidak akan terjadi atau ketika stres itu dating, ia akan merespon dengan lebih terkendali. Dan, mestinya anak pun menjadi syifa, obat bagi stres orangtua. Lihatlah bagaimana ia menghibur kita dengan tingkah polahnya yang lucu dan menggemaskan. Apakah kita tega melihat binar di matanya meredup gara-gara kita marahi tanpa sebab yang jelas atau hanya karena hal sepele?

Jangan pernah lupa, bahwa sebagai peniru terhebat di dunia, anak bisa jadi merekam adegan kemarahan atau lontaran kata-kata kasar dari kita saat itu. Wah, inilah bom waktu yang kelak akan menyesalkan orangtuanya. Maka, mulai saat ini ketika mengalami stres, biasakan diam. Atau hati-hatilah memilih kata ketika dekat dengan buah hati, agar tidak menjadi penyesalan nantinya. Meski pasti tidak gampang, tapi paling tidak inilah upaya orangtua meminimalisir dampak stres bagi anak.

Jangan sampai kita, yang jelas muslim ini kalah mengendalikan emosi daripada orang Barat yang notabene mayoritas non muslim. Mereka sangat menyadari pentingnya mengendalikan stres atau emosi, maka muncullah istilah EQ atau kecerdasan emosional. Lalu, mereka pun memberikan istilah SQ atau kecerdasan spiritual, sebagai pelengkap dari EQ.

Melalui SQ inilah mereka menyentuh hati keluarga dan lingkungannya dengan kasih sayang dan kelembutan. Meski ukuran kesuksesan mereka bias, jadi hanya sampai di dunia, pada beberapa hal, kasus menangani stress misalnya, kita memang harus belajar dari mereka. Mudah-mudahan Allah senantiasa membukakan hati kita untuk berkata dan bertindak yang benar dalam kondisi apa pun juga. Semoga tidak ada seorang pun yang tersakiti meski sesaat, apalagi buah hati kita. Aamiin. (daaruttauhiid)