Kelemahan untuk Meraih Kekuatan

Ketika berselancar di dumay alias dunia maya saya ketemu kisah cinta sejati sepasang suami istri di China yang cukup menyentuh meski memiliki keterbatasan.

Shucai sang suami yang berusia 63 tahun matanya buta dan tak bisa melihat dunia. Sementara istrinya Huobi yang berusia 59 tahun menderita penyakit rakhitis hingga membuatnya lumpuh dan tak bisa berjalan lagi.

Kekurangan yang mereka miliki masing-masing ternyata tidak membuat cinta mereka memudar. Bahkan, rasa cinta pulalah yang menjadikan mereka saling melengkapi kekurangan dengan bekerja sama dalam setiap aktivitas mereka. Shucai selalu menggendong Huobi ke mana pun dia pergi, termsuk ketika bekerja di kebun. Huobilah yang menjadi penunjuk jalan baginya. Yah, Shucai adalah kaki bagi Huobi dan Huobi adalah mata bagi Shucai. Indah sekali melihat cinta dan kerja sama mereka.

Keindahan yang sama ternyata bisa saya dapatkan di Pesantren Daarut Tauhiid. Saat saya melihat teman-teman santri karya difabel di Daarut Tauhiid yang saling bekerja sama membuat hati ini tersentuh. Setiap Kamis pagi seluruh santri karya Daarut Tauhiid harus mengikuti “Tausyah” Aa Gym, termasuk santri karya difabel. Aa Gym memang ingin 10 % dari seluruh santri karya di Daarut Tauhiid diisi oleh santri difabel agar mengangkat kehidupan ekonomi mereka, agar mereka mandiri secara ekonomi, agar mereka memiliki kesempatan mengembangkan diri mereka dan bermanfaat bagi sesama.

Dari seluruh santri difabel, ada beberapa yang dikaruniai keterbatasan tidak bisa melihat, ada juga yang tuna rungu, ada yang lumpuh hingga harus dibantu kursi roda untuk berjalan.

Ada pemandangan menarik ketika mereka harus menaiki tangga masjid tempat Tausyah berlangsung. Ada empat santri yang tidak bisa melihat, mereka saling bergandengan dan dituntun oleh seorang santri tuna rungu. Begitu pula ketika usai mengikuti tausyah, mereka kembali dituntun oleh santri tuna rungu ini. Ketika mengikuti Tausyah, rekan difabel yang lumpuh menerjemahkan isi tausyah Aa Gym kepada santri yang tuna rungu menggunakan bahasa isyarat.

Santri yang lumpuh ini harus naik ke lantai 2 (tempat Tausyah berlangsung) menggunakan kursi roda dan naik melalui lift masjid. Setelah sampai di lantai 2 seorang temannya menggendongnya menuju lantai utama masjid. Teman yang menggendongnya tetap tampak tersenyum bahagia mengangkat tubuhnya di punggungnya, seolah tiada beban berat terasa. Mungkin kerelaannya memberikan “punggung” bagi sahabatnya adalah “ladang amal” baginya. Masya Allah. Sebuah pemandangan yang indah penuh haru. Saya hanya bisa melihat mereka dengan senyuman.

Mereka tidak mengeluh dengan kekurangannya dan memberi jalan “ladang amal” bagi yang lain untuk membantunya, menguatkannya. Ada yang rela menjadi “kaki” bagi saudaranya yang tidak bisa berjalan, ada yang rela menjadi “penyampai kabar” bagi sahabatnya yang tuna rungu, ada yang rela menjadi “mata” bagi saudaranya yang tidak bisa melihat. Masya Allah.

Padahal, di luar sana mungkin ada sebagian orang yang ketika sadar memiliki kekurangan dia terlalu fokus dengan kekurangannya sehingga lupa melihat dan mengoptimalkan kelebihan dirinya. Lebih buruk lagi jika kekurangannya ini membuatnya tidak bersyukur dan mengingkari nikmat Allah yang lain. Naudzubillahi min dzalik.

Melihat sahabat ataupun saudara kita yang diuji dengan kondisi difabel seharusnya menjadi sarana bagi kita untuk berempati kepada mereka. Minimal menjadi sarana kita untuk bersyukur karena Allah memberi kelabihan kepada kita. Langkah selanjutnya adalah “memanusiakan” mereka, sebab tidak sedikit orang yang memandang para difabel dengan sebelah mata.

Indahnya hidup jika kita bisa saling mengisi kekurangan orang lain dan ada orang yang mau mengisi kekurangan kita. Tiada manusia yang terlahir sempurna. Mungkin ada yang tampak sempurna secara fisik, tetapi mungkin sifat dan perilakunya masih ada yang harus diperbaiki. Jika kita menemukan orang yang mau menerima apa adanya diri kita, baik kekurangan maupun kelebihan kita, atau dia tahu kekurangan kita tapi mau mengajak kita untuk memperbaikinya, maka indahnya hidup kita. Begitu pula orang lain, mereka pun berharap yang sama dengan kita, ingin dihargai, dimengerti, dan diterima apa adanya. Masya Allah.

Oleh : Indah Ratnaningsih, sumber foto : MERAIH MIMPI – WordPress.com