Kisah Habil-Qabil

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. al-Jatsiyah [45]: 23)

Dalam kurun waktu beberapa tahun pernikahan Nabi Adam as dan kejadian diturunkannya ke muka bumi bersama Siti Hawa ra, Allah SWT mengaruniakan keturunan bagi mereka. Menurut riwayat Ibnu Ishaq dalam Tafsir al-Qurthubi, Nabi Adam dan Siti Hawa dikaruniai 40 anak dalam 20 kali masa mengandung. Artinya, setiap melahirkan mereka dianugerahi dua anak (kembar berpasangan; 1 putra dan 1 putri).

Saat anak-anaknya beranjak dewasa, Allah memerintahkan Nabi Adam untuk menikahkan mereka bukan dengan saudara kembarnya, melainkan disilang dengan saudara kembar yang lain. Dalam rangka menunaikan perintah itu, Nabi Adam menetapkan bahwa Qabil harus menikahi Labuda ra (saudari kembar Habil ra) sedangkan Habil sendiri harus menikahi Iqlima ra (saudari kembar Qabil). Namun sayang, Qabil tidak menerima ketetapan itu. Ia bersikukuh untuk menikahi kembarannya sendiri.

Nabi Adam berusaha memberikan pemahaman dan kesadaran bahwa amal saleh tidak boleh disandarkan kepada persepsi dan kehendak diri, melainkan harus ikhlas-murni menunaikan perintah dari Allah semata. Allah pun telah mensyariatkan bahwa mereka, “tidak boleh menikahi saudara kembarnya masing-masing”.

Seiring dengan usaha Nabi Adam terus meyakinkan Qabil, semakin kuat pula Qabil mempertahankan keinginannya. Peristiwa ini menjadi problematika pertama yang terjadi pada manusia, dan Nabi Adam as harus mampu menyelesaikannya. Oleh karena Nabi Adam hanyalah pesuruh Allah yang dibekali huda (petunjuk), dan dilarang membuat petunjuk sendiri, beliau selanjutnya mengajak Qabil untuk mengembalikan keputusan dari permasalahan ini kepada Allah SWT. Seketika, Allah memberikan solusi berupa larangan untuk menjalankan syariah kurban bagi keduanya. Siapa pun di antara mereka berdua yang diterima kurbannya, dialah yang Allah SWT ridai (tetapkan) menikah dengan Iqlima.

Sebagai petani, Qabil berkurban dengan seikat gandum. Entah mengapa, ia memberikan gandum seadanya saja. Sedangkan Habil ra berkurban dengan kambing terbaiknya. Setelah kurban dipersembahkan, ternyata Allah SWT menerima kurban Habil dan meninggalkan kurban Qabil. Maka, Habil yang ditetapkan Allah untuk menikahi Iqlima.

Mendapati kurbannya tidak diterima, Qabil marah. “Mata hatinya” menjadi buta. Ia memendam rasa dengki yang sangat besar kepada adiknya. Sifat inilah yang menjadi awal sebuah tragedi berdarah. Al-Qurtubhi mengatakan, “Dengki adalah dosa pertama yang dilakukan di langit dan di bumi. Di langit adalah dengkinya Iblis kepada Nabi Adam dan di bumi adalah dengkinya Qabil kepada Habil.”

Seiring waktu menuju pernikahan, kedengkian Qabil semakin memuncak. Di saat Nabi Adam sedang tidak bersama mereka, ia meluapkan perasaan dengkinya dengan kemarahan. Bahkan ia tidak ragu menunjukkan diri secara terang-terangan dengan mengatakan ia akan membunuh adiknya.

Habil yang menyadari kakaknya sedang diliputi rasa marah, menghadapinya dengan tenang. Kematangan jiwanya menghadirkan sikap untuk tidak panik saat menghadapi sebuah permasalahan. Bahkan Habil terus berusaha menyadarkan kakaknya agar berzikir kepada Allah. Dengan penuh kasih-sayang ia balas perlakuan Qabil sebagaimana layaknya seorang adik. Apa pun nasib yang akan terjadi padanya, ia serahkan sepenuhnya pada Allah semata.

Qabil telah gelap mata. Ia semakin marah dan beringas. Ketika Habil ra sedang beristirahat di sela-sela aktifitas menggembala kambingnya, tiba-tiba Qabil datang membawa batu besar dan menimpakannya ke kepala Habil. Akhirnya, Habil meninggal di tangan kakaknya.

Na’udzu billahi min dzaalik. Beginilah kondisi orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai ilah-nya. Pendengaran, penglihatan, dan hatinya buta. Ayat-ayat Allah SWT dianggap sebagai batu sandungan. Prasangkanya hanya tertuju pada kesenangan dunia semata. Tersesatlah ia. Jauh semakin tersesat lagi karena Allah mengunci mati pendengaran, penglihatan, dan hatinya sehingga tidak ada yang mampu mengembalikannya ke jalan benar kecuali dia sendiri. Apakah ia mau melepas hawa nafsu untuk menjadikan Allah saja sebagai ilah-nya? Wallahu a’lam. (Ust. Edu)