Mengasihi Anak Yatim, Jalan Menuju Kemuliaan

[DAARUTTAUHIID.ORG]- Tidak pernah terpikir oleh Shafiyah jika suami yang sangat ia cintai, terlebih dahulu meninggalkannya dan anak laki-laki yang baru berusia tiga tahun. Suami Shafiyah syahid di medan perang.

Semenjak kematian suaminya, Shafiyah memutuskan tidak menikah lagi. Padahal usianya terbilang muda, 20 tahun. Tidak sedikit laki-laki yang melamarnya. Namun Shafiyah telah membulatkan tekad. Ia menolak. Memilih fokus merawat serta mendidik anak semata wayangnya.

Masa berlalu, dan tahun pun berganti. Anak Shafiyah beranjak memasuki masa kanak-kanak. Shafiyah sepenuh hati mengasuhnya agar mengenal Allah dan Rasulullah. Sederet kurikulum pendidikan Islam dipersiapkan. Dan setiap suara azan subuh berkemundang, ia dengan lembut berbisik di telinga anaknya, “Wahai anakku, bangunlah. Sudah azan subuh.”

Setelah anaknya terbangun, Shafiyah bergegas mempersiapkan air wudu, memakaikan pakaian,  dan mengantarnya ke masjid. Hal itu dilakukan karena lokasi masjid sangat jauh, dan jalan menuju ke sana gelap gulita. Selama perjalanan, Shafiyah selalu menggandeng tangan anaknya. Tak sedetik pun ia lepaskan. 

Pernah anaknya bersikeras ingin pergi sendiri ke masjid sebelum azan berkumandang. Alasannya tidak ingin merepotkan Shafiyah, dan supaya bisa datang lebih awal di pengajian hadis yang digelar setelah Salat Subuh. Jika datang lebih awal, anaknya itu bisa duduk di barisan paling depan sehingga bisa mendengar dengan jelas. Namun, Shafiyah selalu menolak dan baru mengizinkannya ketika azan sudah berkumandang. Itu pun harus bersama Shafiyah.

Penolakan Shafiyah ada sebabnya. Selain faktor keamanan karena usia anaknya masih terhitung belia, Shafiyah ingin total dalam mengasuh anaknya. Mencurahkan segala waktu, tenaga, dan pikiran terbaik yang bisa diberikan. Ia sadar, anaknya ini terlahir sebagai anak yatim. Karenanya Shafiyah tak mau menyia-nyiakan amanah merawat anak yatim yang bertabur kemuliaan.         

Shafiyah sekuat tenaga membentuk karakter anaknya agar mencintai ilmu pengetahuan. Ia ajari hafalan Al-Quran saat usianya menginjak 10 tahun. Dan ketika berusia 16 tahun, Shafiyah melepas anaknya untuk belajar hadis. Shafiyah berkeyakinan perjalanan belajar hadis merupakan hijrah kepada Allah.

Dedikasi Shafiyah ternyata begitu membekas pada anaknya. Belasan tahun kemudian, di setiap mimbar ilmu, ia selalu menceritakan betapa besar pengaruh ibunya. Anaknya itu adalah Ahmad Ibn Hanbal. Imam keempat dari empat imam mazhab dalam ilmu fikih. Ia adalah pendiri Mazhab Hanbali.

Jalan Bertabur Kemuliaan

Cerita masa kecil Imam Hanbali adalah salah satu dari banyak kisah betapa kemuliaan pasti menaungi mereka yang mengasuh dan mendidik anak yatim. Kesungguhan dan komitmen mengurusi kehidupan anak yatim akan diganjar Allah SWT dengan pahala berupa surga.

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menjaga anak yatim di antara umat Islam sampai menjaga makan dan minumnya, maka Allah pasti memasukkan orang itu ke dalam surga. Kecuali orang itu berbuat dosa yang tidak bakal diampuni.” (HR. Tirmudzi)

Allah pun menjamin bagi mereka yang memperlakukan anak yatim dengan segenap kemuliaan. Ia akan menjauhkannya dari azab di hari kiamat. “Demi Allah yang telah mengutusku dengan haq. Allah tidak akan mengazab pada hari kiamat orang yang mengasihi anak yatim, dan lemah lembut pada anak yatim dalam bicaranya, dan mengasihi orang itu pada kemalangan dan kesusahan yatim itu, dan ia tidak sombong terhadap tetangganya karena sebab kelebihan yang diberikan Allah padanya.” (HR. Thabrani)

Sebaliknya, bagi mereka yang semena-mena atau tidak peduli dengan kehidupan anak yatim, Allah memberikan peringatan keras. Disebut sebagai pendusta agama. “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim.” (QS. Al-Ma’un: [107]: 1-2).

Anak yatim adalah amanah dari Allah untuk kita. Jika diibaratkan jalan, keberadaan anak yatim adalah jalan kemuliaan, jalan yang lurus, dan jalan orang-orang yang diberi nikmat. (dtpeduli)

_____________________

daaruttauhiid.org