Pernahkah Rasullulah Marah?

DAARUTTAUHIID.ORG | Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah orang yang menyampai risalah agama dan pejuang kebenaran. Oleh karenanya Rasulullah selalu berlapang hati terhadap apa yang menimpa dirinya dalam berdakwah tetapi bagaimana bisa berlapang hati jika yang dihina adalah dakwahnya?

Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bisa legawa terhadap orang bodoh yang sangat lancang mulutnya mencaci dan mengejek Islam, mengingkari tauhid, hari kebangkitan setelah mati, dan norma-norma kebaikan dan kebenaran.

Kalaupun Rasulullah marah maka ia mampu mengontrol kemarahannya. Kemarahan Rasulullah sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib bukan untuk kepentingan duniawi. Akan tetapi untuk menegakan kebenaran, dan tidak seorang pun bisa menghadapinya sampai yang hak dan benar itu menang.

Seperti yang dikatakan Sayyidah Aisyah, Rasulullah  tidak pernah membalas dendam untuk pribadinya, kecuali apabila larangan Allah Ta’ala dilanggar, beliau membalas karena Allah, sebab yang dilanggar larangan Allah.

Kemarahan Rasulullah masih dalam  batas wajar sesuai dengan risalahnya dan keagungannya, tetapi kemarahan itu tidak melampaui batas-batas kewajaran. Abdullah bin Amr bin Ash berkata:

“Wahai Rasulullah, aku akan mencatat apa yang engkau ucapkan dalam keadaan marah dan dalam keadaan suka.” Beliau menjawab, “Tulislah demi Zat yang mengutus aku dengan benar sebagai Nabi, tidak akan keluar dari mulut ini kecuali ucapan yang hak.” Beliau mengisyaratkan pada lisannya.

Beliau tidak mengatakan, “Aku tidak marah.” Tapi berkata, “Sesungguhnya kemarahanku tidak keluar dari yang hak.” Bila mendengar kata yang tidak disenangi, beliau marah sehingga merah kedua pipinya tetapi beliau tidak mengucapkan kecuali kata-kata yang benar.

Meskipun beliau marah untuk membela yang hak, beliau sedapat mungkin meringankan tekanan kemarahan dan memperpendek waktunya serta bertekad menguasai dirinya, yaitu dengan cara mengubah posisinya sehingga suasana dan keadaan berubah menjadi suasana dan keadaan yang lain.

Abu Hurairah berkata, “Apabila Rasul marah pada saat beliau sedang berdiri, beliau akan duduk. Sebaliknya bila beliau duduk, beliau akan berbaring sehingga kemarahan beliau reda. Demikianlah, beliau dengan kuat menjaga dirinya agar jangan sampai dikuasai oleh kemarahan.”

Nabi berdoa, “Ya Tuhan, aku adalah manusia yang bisa marah seperti marahnya manusia. Maka siapa saja di antara orang Islam yang aku maki-maki, atau aku laknati, atau aku pukul, maka jadikanlah itu sebagai sholat dan zakat yang mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.”