Menjadi Muslimah yang “Dibeli” Allah

Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS. at-Taubah [9]:111)

Semoga kita menjadi muslimah yang dibeli Allah dengan surga, sebagaimana yang tertera pada ayat tersebut. Berkacalah pada kisah kaum Anshor dan Muhajirin. Meskipun harta habis, istri ditinggal, dan hidup seadanya, mereka (kaum Muhajirin) sama sekali tidak merasa berat. Begitu juga dengan kaum Anshor yang tulus menerima kedatangan kaum Muhajirin dan bahu membahu menegakkan Islam. Subhanallah, orang-orang seperti inilah yang menjual diri, jiwa dan raganya hanya untuk dibeli Allah.

Begitu pula kisah hidup penulis tafsir FiZhilalilQur’an, Sayyid Quthb yang hingga wafatnya senantiasa berinteraksi dengan Quran. Boleh jadi inilah sebabnya mengapa kita sering kali galau dalam meniti kehidupan ini. Kita masih jauh dari peta hidup yaitu al-Quran, dan belum total menyerahkan hidup kita kepada Allah SWT.

Tidak Bercerai-berai

Ketika para sahabat sedang berkumpul bersama Rasul dan menyimak ayat ini (surah at-Taubah [9] ayat 111, mereka bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kemenangan ini untuk kami juga?” Rasulullah saw menjawab, “Iya.” Para sahabat sangat senang dan lega mendengarnya. Di ujung ayat, memang disebutkan itulah kemenangan bagi siapa saja yang berjihad di jalan Allah.

Pada masa tersebut, salah satu cara mencari rida Allah adalah dengan membunuh musuh Islam. Seperti yang diceritakan pada ayat 111 di surah yang dimulai tanpa membaca basmallah itu. Nah, sekarang apa yang bisa kita lakukan agar serupa dengan peristiwa pada masa itu? Adalah dengan “membunuh kemaksiatan” atau segala hal yang tidak disukai Allah. Semua ini dapat dilakukan bila kita bergandengan tangan dalam satu jamaah. Dengan ilmu yang saling menguatkan, mestinya kita memang jangan sampai bercerai-berai.

Selaras dengan pesan Allah di surah Ali Imran [3] ayat 103, ”Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,...” Boleh jadi kita sulit bersatu karena masih ada niat tersembunyi yang belum lurus lillahi ta’ala. Insya Allah bila senantiasa meluruskan niat, suatu saat Allah akan menyambungkan hati-hati kita. Hanya Dia yang mampu menggerakkan hati siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Bila pada zaman Rasulullah, para sahabat berbai’at (bersumpah), siap membela kebenaran Islam lahir dan batin. Sekarang pun, sesungguhnya kita selalu berbai’at kepada Allah dalam setiap salat kita. ”Inna shalatii wanusukii wamah yaayaa, wamamati lillahi rabbil a’alamiin,” inilah janji kita setiap hari kita ikrarkan dalam salat.

Delapan Syarat agar Dibeli Allah

Untuk itu, kita harus sekuat tenaga menjadi orang yang dibeli Allah. Lalu, siapakah orang-orang yang disebutkan “menjual” dirinya kepada Allah dan “dibeli” oleh Allah itu? Nah, sahabat muslimah ternyata ada beberapa cirri atau syarat seperti yang diterangkan Allah pada ayat selanjutnya, yakni surah at-Taubah [9] ayat 112.

Syarat pertama, kita harus menjadi orang yang at-Taaibun (orang yang banyak bertobat). Lalu apa yang harus ditobati? Tentunya dosa kita secara pribadi. Misal, dosa hidup yang masih mengillahkan selain Allah. Padahal, cobalah tafakuri semua kesalahan yang telah dilakukan. Ambillah saat-saat ketika tahajud di sepertiga malam terakhir. Minta tolong kepada Allah agar dibukakan kekurangan diri. Insya Allah kelak Ia yang akan membukakannya.

”Saya sudah dapat ilmu, dan sudah menyampaikan ke orang lain,tapi saya belum bisa mengamalkan.” Mungkin seperti itulah hasil tafakur yang kita lakukan. Satu-persatu coba telusuri dosa kita. Setelah urusan pribadi, tambah lagi tafakurnya, misalnya dalam pekerjaan. Sudahkah apa yang kita berikan lebih daripada hak yang kita dapatkan? Jangan-jangan tidak sebanding, padahal semuanya itu harus dipertanggungjawabkan.

Kedua, al-A’bidun atau ahli ibadah, baik ibadah maghdah maupun ghair maghdah. Ketiga, al-Hamidun (orang yang memuji Allah). Ketika ada yang memuji, yang harus diucapkan adalah alhamdulillah. Segala puji hanya milik-Mu ya Allah. Pujian dari siapa pun hanya untuk Engkau, dan jangan sampai membuat saya besar hati. Kalau pun wajah seperti senang, karena menghormati orang yang memuji, namun hati jangan sampai merasa gembira. Bahkan Imam Ali mengajarkan doa khusus ketika ada yang memuji, ”Ya Allah lindungi dari apa yang dia katakan yang tidak sesuai kenyataan, tuntun saya harus lebih baik dari apa yang dia katakan.”

Keempat, as-Saaihun (berjalan, mengembara). Jangan hanya seperti pepatah, yaitu bagaikan katak yang hidup dalam tempurung kelapa. Kita harus bertebaran menyaksikan dunia nyata dan mencari ilmu yang bermanfaat. Teteh sempat membaca buku tafsirnya Buya Hamka. Beliau belajar sampai ke mana-mana, bahkan sampai ke luar negeri. Karenanya, bila di akhir minggu tidak ada kesibukan, sempatkanlah untuk berjalan-jalan atau datang ke pengajian (majelis ilmu).

Lalu kelima, ada Raki’un (ruku). Yang keenam, Sajidun (bersujud). Dua hal ini mestinya tercermin dalam keseharian kita. Jangan bosan memperbaiki kualitas salat, seperti ketika salat usahakan jangan memikirkan urusan duniawi. Fokuslah dan khusyu pada salat yang dikerjakan.

Ketujuh, jadilah orang yang senantiasa ber-amar ma’ruf nahi mungkar. Tentu artinya harus mampu membedakan hak dan batil. Dan yang kedelapan, ciri orang yang akan dibeli Allah adalah al-Hafidzun (memelihara hukum-hukum Allah).

Sahabat muslimah, kita tidak perlu menilai orang lain. Nilailah diri masing-masing. Untuk itu, segenap upaya hendaknya dikerahkan agar ke delapan syarat/ciri ini perlahan tapi pasti ada pada diri kita. Amiin. (Ninih Muthmainnah)

sumber foto: atmosferku.com