Kedudukan dan Fungsi Al-Liwa & Ar-Rayah (Bagian 2)

Kedudukan dan Fungsi Al-Liwa & Ar-Rayah

Berdasarkan dalil-dalil sunnah dan atsar, tak dapat dipungkiri bahwa Al-Liwa dan Ar-Rayah, merupakan simbol kenegaraan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu ditandai dengan praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kepala negara sekaligus komandan pasukan perang, yang menjadikan Al-Liwa ditangannya, ketika Fathu Mekkah, atau diserahkan kepada orang yang ditunjuknya secara resmi untuk memimpin pasukan perang, di antara dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Perang Khaibar :

لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Sungguh aku akan memberikan Ar-Rayah kepada seseorang, akan ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Ketika bendera Al-Liwa diserahkan Khalifah kepada pemimpin pasukan perang, maka ia menjadi simbol pemegang komando peperangan, sekaligus pemersatu para komandan detasemen pemegang Ar-Rayah dan para pasukan itu sendiri. Ibnu Bathal menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak memegang bendera dan panji ini (dalam jihad) kecuali orang yang ditunjuk oleh Al-Imam (Khalifah) saja, tidak diemban seseorang pun kecuali dengan adanya mandat kekuasaan (kewenangan dan kedudukan Khalifah).

Ibnu Bathal pun menukil penuturan Al-Muhallab bahwa dalam hadits Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu terdapat petunjuk bahwa Ar-Rayah tidak diserahkan kecuali dengan izin Al-Imam (Khalifah); karena ia merupakan simbol kekuasaan Khalifah, dan kedudukannya. Maka tidak boleh ada penyerahan mandat bendera dan panji ini kecuali berdasarkan perintah Khalifah. Semua penjelasan tersebut, secara spesifik dirinci oleh Ibn Bathal dalam satu bab khusus :

مَا قِيلَ فِى لِوَاء النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم

Hadits ini merupakan nash yang menunjukkan mandat resmi tersebut.

Ibn Hajar Al-‘Asqalani (wafat tahun 852 H) pun mencontohkan, bahwa Qais bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang yang pernah menerima mandat memegang bendera Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hal itu tidak dilakukan kecuali berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu yang juga pernah menerima mandat Ar-Rayah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adanya mandat resmi dalam mengemban Al-Liwa dan Ar-Rayah ini, menunjukkan bahwa ia adalah simbol negara, sehingga memperjelas kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin suatu negara, yakni Negara Islam (Al-Daulah Al-Islamiyyah). Hal ini semakin menguatkan bukti otentik, historis dan yuridis, adanya konsep negara dalam Islam, sekaligus meruntuhkan khurafat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan kepala negara dan tidak mengatur urusan kenegaraan. Namun bukan sembarang negara, melainkan negara yang berasaskan tauhid (akidah Islam), sebagaimana termaktub pada Al-Liwa dan Ar-Rayah, yang menunjukkan filosofi asas negara yang dibangun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Negara wajib berasaskan akidah Islam, kaum Muslimin tidak boleh mengadopsi selain akidah Islam sebagai asasnya. maka konsekuensinya, wajib menjadikan hukum Allah dan Rasul-Nya sebagai hukum positif yang diterapkan negara, bukan hukum jahiliyyah.

Allah ta’ala berfirman;

اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
(QS. Al-Ma’idah : 50)

Allah ta’ala berfirman;

وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَـهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى

“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.”
(QS. Thaha : 124)

Penisbatan Al-Liwa dan Ar-Rayah dalam hadits dan atsar sebagai bendera dan panji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memperjelas kedudukannya sebagai syi’ar Islam. Terlebih kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya, merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran, kalimat yang menyatukan kaum Muslim dalam ikatan yang hakiki, ikatan akidah Islam. Maka jelas bahwa keduanya termasuk syi’ar Islam yang wajib diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syi’ar-syi’ar jahiliyyah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat imperialistik. Mengagungkan dan menjunjung tinggi syi’ar Islam sesungguhnya bagian dari apa yang Allah ta’ala firmankan;

ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah Allah) dan siapa saja yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj : 32)

Yakni sikap yang lahir dari ketakwaan kepada Allah ta’ala. Syaikh Nawawi Al-Bantani (wafat tahun 1316 H) menukil ayat ini menjelaskan, di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, yakni syi’ar-syi’ar Din-Nya. Sifat takwa ini, ditunjukkan oleh sikap para sahabat, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

أَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ جَعْفَرٌ فَأُصِيْبَ، ثُمَّ أَخَذَ اِبْنُ رَوَاحَةٍ فَأُصِيْبَ

“Zaid mengambil Ar-Rayah lalu ia gugur, kemudian Ja’far mengambil (Ar-Rayah) lalu ia gugur, kemudian Ibnu Rawahah mengambil (Al-Rayah) lalu ia gugur.” (HR. Al-Bukhari & Ahmad)

Kriminalisasi Al-Liwa & Ar-Rayah

Saudaraku, salah satu ancaman yang wajib diwaspadai kaum Muslimin saat ini adalah stigmatisasi negatif terhadap panji Ar-Rayah sebagai bendera teroris (irhabiyyah), dan adanya upaya kriminalisasi terhadap para pengembannya. Misalnya kasus panji Ar-Rayah yang dijadikan barang bukti terorisme bom bekasi (news.detik.com,15/12/2016) dan tuduhan bagi yang mengenakan atribut Laa Ilaaha Illallaah Muhammad Rasulullah sebagai kelompok Isis, dll. Padahal tidak ada relevansi sama sekali antara tindak kejahatan terorisme yang dikecam Islam, dan panji Ar-Rayah sebagai syi’ar Islam yang justru dijadikan barang bukti tindak kejahatan.

Upaya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam, hakikatnya bagian dari penyesatan opini, yang menjadi bagian dari visi misi Iblis dan sekutunya yang benar-benar berjanji akan menghiasi perbuatan buruk manusia, dan menyesatkan mereka semua dari kebenaran.

allah ta’ala berfirman;

قَالَ رَبِّ بِمَاۤ اَغْوَيْتَنِيْ لَاُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِى الْاَرْضِ وَلَاُغْوِيَـنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَ

“Ia (Iblis) berkata, Tuhanku, oleh karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya.”
(QS. Al-Hijr : 39)

Dalam Sirah Nabawiyah, kejahatan ini telah dipraktekkan kaum Kuffar yang menstigma negatif wahyu Allah sebagai sihir dan dongeng-dongeng orang terdahulu, dan Rasul-Nya sebagai orang yang hilang akal, dukun, dan penyair. Itu semua dilakukan demi menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.

Kebatilan tersebut, kini tampil dalam kemasan baru, menstigma negatif simbol dan ajaran Islam sebagai simbol terorisme dan ajaran radikalisme. Termasuk dari apa yang Allah ta’ala peringatkan;

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)

Lahwal hadits dalam ayat yang mulia ini mencakup perkara-perkara kebatilan yang disuarakan, dituliskan untuk menyesatkan manusia, menyimpangkan mereka dari jalan Allah (Islam).

Al-Hafizh Ibn Jarir Ath-Thabari (wafat tahun 310 H) menuturkan;

“Cakupannya (lahwal hadits) segala hal berupa ucapan yang menyimpangkan (manusia) dari jalan Allah, berupa hal-hal yang Allah dan Rasul-Nya larang untuk mendengarkannya, karena Allah ta’ala mengungkapkan keumuman dalam firman-Nya: (lahwal hadits), dan Dia tidak mengkhususkannya. Oleh karena itu, ia tetap dalam keumumannya hingga ada dalil yang mengkhususkannya.”

Kebatilan tersebut merupakan syubhat dan khurafat yang wajib diwaspadai, dihadapi dan diluruskan. Karena dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindak kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman. Kondisi dan bahayanya, sebagaimana peringatan Syaikh Al-‘Allamah Taqiyuddin An-Nabhani;

“Imperialisme tak sekedar menggunakan tsaqafah ini, bahkan meracuni kaum Muslimin dengan beragam pemikiran dan pandangan di bidang politik dan falsafah, yang merusak paradigma kaum Muslimin yang lurus. Dengannya rusak suasana Islami yang ada, serta mengacaukan pemikiran kaum Muslim dalam segala aspek kehidupan. Dengan semua itu, hilanglah benteng pertahanan kaum Muslimin.”

Tuduhan keji atas bendera dan panji tauhid ini, bisa jadi menggambarkan apa yang Allah ta’ala firmankan;

قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ

“Sungguh telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran : 118)

Dalam Islam, stigmatisasi negatif dan kriminalisasi terhadap simbol Islam merupakan kemungkaran, sehingga termasuk tindakan kriminal yang wajib dicegah dan dikenai sanksi hukuman.

Peringatan Atas Bahaya Kejahilan & Prasangka Buruk

Penolakan terhadap Al-Liwa dan Ar-Rayah, bisa terjadi karena ketidakpahaman terhadap hakikat keduanya dalam Islam, namun mengedepankan kecurigaan dan prasangka buruk, ini tergambar dalam ungkapan Imam Abu Hamid Al-Ghazali (wafat tahun 505 H) :

النَّاسُ أَعدَاء مَا جَهِلُوْا

“Manusia terkadang menjadi musuh atas apa-apa yang tidak mereka ketahui.”

Hal ini tercela, karena penolakan yang didasari oleh ketidaktahuan, pasti dilatarbelakangi oleh prasangka buruk, dan prasangka buruk itu tercela sebagaimana firman-Nya;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ …

“Wahai orang-orang yang beriman jauhilah oleh kalian sebagian besar dari prasangka, karena sebagian darinya merupakan perbuatan dosa …” (QS. Al-Hujurat : 12)

Ayat ini menyeru orang-orang yang beriman, dengan perintah menggunakan kata “ijtanib” yang lebih mendalam dan kuat maknanya daripada kata “utruk”, yang maknanya adalah “jauhilah”6, artinya ayat yang agung ini mengandung larangan atas prasangka buruk. Dan kalimat (إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ) yang menyifati prasangka buruk sebagai perbuatan dosa, menjadi indikasi tegas atas larangan dalam ayat ini, sehingga larangan dalam ayat ini merupakan tuntutan tegas untuk meninggalkan prasangka buruk, yang menunjukkan bahwa hukumnya adalah haram.

Imam Al-Raghib Al-Ashfahani (wafat tahun 502 H) ketika menjelaskan kata “ijtanibu” menegaskan bahwa ia merupakan ungkapan tentang perkara yang harus mereka tinggalkan, dan maknanya lebih kuat (ablagh) daripada kata “utruk” (tinggalkanlah)

وَذلِكَ أَبْلَغ مِنْ قَوْلِهِم ْ: اُتْرُكُوْهُ

Karena kata “ijtanib” tak sekedar perintah untuk meninggalkan melainkan perintah untuk meninggalkan dan menjauhinya (meninggalkan sejauh-jauhnya). Dan Allah ta’ala menggunakan kata “ijtanib” dalam ayat yang agung di atas untuk melarang prasangka buruk, maka sudah seharusnya kita menjauhinya.

Kesalahpahaman terhadap Al-Liwa dan Ar-Rayah, bisa juga lahir karena tersebarnya syubhat, dan tidak mau ber-tabayyun, justru mengedepankan kepercayaan terhadap syubhat dan khurafat yang tersebar. Maka dalam kasus ini, Allah ta’ala memperingatkan;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu seseorang yang fasik membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat : 6)

Ayat ini menyeru orang-orang beriman untuk melakukan konfirmasi terhadap kebenaran suatu informasi, yang datang dari orang yang fasik, yang tidak bisa dipercaya. Karena makna tabayyun itu mendekati makna tatsabbut (mencari kebenaran), yakni tidak tergesa-gesa hingga benar-benar mengetahui, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Farra (wafat tahub 207 H), atau dalam penjelasan Al-Hafizh Ibnu Jarir Ath-Thabari yakni tidak tergesa-gesa hingga mengetahui kebenarannya, dan tidak tergesa-gesa menerima berita tersebut.

Atau sebagaimana disebutkan Imam Abu Al-Muzhaffar As-Sam’ani (wafat tahun 489 H) yakni meninggalkan ketergesa-gesaan, merenungkan dan menyikapinya dengan hati-hati dalam urusan tersebut. Karena ketergesaan bisa jadi timbul dari kebodohan dan kebingungan.

Dari Ibnu Wahab, ia mengatakan telah mendengar Imam Malik berkata :

الْعَجَلَةُ فِي الْفَتْوَى نَوْعٌ مِنَ الْجَهْلِ وَالْخُرْقِ

“Ketergesa-gesaan dalam berfatwa merupakan jenis kebodohan dan keraguan.”

Maka menjadi tugas para ulama dan da’i yang paham, memahamkan masyarakat awam terhadap hakikat Al-Liwa dan Ar-Ryah ini, agar mereka tidak bersikap kecuali sebagaimana sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Tugas ini menjadi semakin menantang, di zaman ketika tersebarnya syubhat di tengah-tengah masyarakat, dan syi’ar Islam digantikan oleh syi’ar-syi’ar ‘ashabiyyah jahiliyyah. Hal itu karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang masih memiliki akal sehat dan keimanan.

Allah ta’ala berfirman;

الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ ۚ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka Itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Az-Zumar : 18)

Inilah sifat mereka yang dipuji Allah ta’ala dengan istilah, ulul albab, dan peringatan bermanfaat bagi mereka yang beriman.

Allah ta’ala berfirman;

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

“Dan berilah peringatan, karena peringatan bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Dzariyat : 55)

Teladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam & Para Sahabat

Lalu bagaimana sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat terhadap Al-Liwa dan Ar-Rayah? Hal itu terjawab dengan menilik sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang memberikan keteladanan dalam mengemban keduanya, menjadikannya sebagai tugas kenegaraan yang sangat mulia, yang tidak diemban kecuali oleh orang yang mulia. Hal itu sebagaimana penyifatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pemegang panji Ar-Ryah ketika Perang Khaibar :

لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

“Sungguh aku akan memberikan Ar-Rayah kepada seseorang yang akan ditaklukkan (benteng) melalui kedua tangannya, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya pun mencintainya.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Saudaraku, mari kita kaji hadits yang mulia ini. Kalimat dalam hadits

يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ

Merupakan sifat mulia dari lelaki (رَجُلاً) yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits. Hal ini sesuai kaidah :

الجُمَلُ بَعْدَ النَّكِرَاتِ صِفَاتٌ

“Kalimat-kalimat setelah kata-kata benda nakirah itu sifat-sifatnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengawali informasi penting dalam hadits tersebut dengan Lam At-Taukid dan nun At-Taukid Ats-Tsaqilah. Keduanya termasuk bentuk taukid (penegasan). Dalam tinjauan disiplin ilmu balaghah, ia dinamakan dengan Al-Khabar Al-Inkari, atau meminjam istilah Syaikh Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, yakni At-Taukid Al-Inkari. Apa faidahnya? Keberadaan kata-kata penegasan seperti ini, berfungsi menegaskan kebenaran informasi di dalamnya, menafikan segala bentuk pengingkaran atau keraguan terhadap kebenarannya.

Lantas, siapa lelaki yang dimaksud Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dalam perincian haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menyerahkan panji tauhid ini kepada ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Bagaimana sikap para sahabat? Digambarkan bahwa mereka mengharapkan kemuliaan tersebut, yang juga menunjukkan agungnya kedudukan Al-Liwa dan Ar-Rayah dalam Islam.

Ibnu Bathal (wafat tahun 449 H) bahkan menegaskan bahwa mandat resmi dalam serah terima Al-Liwa dan Ar-Rayah termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah semestinya diteladani oleh kaum Muslimin. Ibnu Bathal menuturkan :

(لَأُعْطِيَّنَّ الرَايَةَ) فَعَرَّفَهَا بِالأَلِفِ وَاللامِ يَدُلُّ أَنَّهَا كَانَتْ مِنْ سُنَّتِهِ -صلى الله عليه وسلم- فِيْ حُرُوْبِهِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُسَارَ بِسِيْرَتِهِ فِيْ ذلِكَ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh aku akan menyerahkan Ar-Rayah”, Rasulullah mengungkapkan kata Ar-Rayah dalam bentuk ma’rifat (dengan alif lam, yakni sudah dikenal secara spesifik) menunjukkan bahwa ia merupakan sunnah Rasulullah dalam berbagai peperangannya, maka sudah seharusnya hal tersebut diikuti oleh kaum Muslim.”

Maka setiap syubhat dan khurafat, mencakup stigmatisasi negatif dan kriminalisasi atas Al-Liwa dan Ar-Rayah, hakikatnya merupakan makar terhadap Allah dan Rasul-Nya. Ia merupakan kemungkaran yang harus diwaspadai kaum Muslimin, wajib disingkap dan diluruskan, sehingga kaum Muslimin tidak memandang Al-Liwa dan Ar-Rayah kecuali dengan pandangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, dan tergerak untuk mengibarkannya kembali, dengan berjuang menegakkan kehidupan Islam, dalam naungan Al-Khilafah ‘ala Minhaj An-Nubuwwah yang berdiri di atas asas tauhid, dan kita mengatakan sebagaimana sya’ir :

نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا * تَبْنِي، وَنَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوْا

“Kami membangun sebagaimana generasi pendahulu kami membangun. Dan kami berbuat sebagaimana mereka telah berbuat.”

Wallahu ta’ala A’lam