Macam-macam Ujub
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Haamid Al-Gozaali rahimahullah dalam kitabnya Ihyaa’ Uluumiddiin. Beliau rahimahullah menyebutkan ada 8 model ujub, yaitu :
Pertama : Ujub dengan nasab yang tinggi
Al-Ghozaali rahimahullah berkata :
“Ujub dengan nasab yang mulia, sebagaimana ujubnya Al-Haasyimiyah (*yang merupakan ahlul bait), sampai-sampai sebagian mereka menyangka bisa selamat dengan kemuliaan nasabnya dan dengan selamatnya leluhur mereka, dan ia telah diampuni dosa-dosanya. Dan sebagian mereka mengkhayal bahwasanya seluruh manusia adalah budak-budaknya.
Obat ujub ini adalah hendaknya ia mengetahui bahwasanya jika ia menyelisihi perbuatan dan akhlak leluhurnya dan ia menyangka bahwa ia akan ikut serta mereka maka ia adalah orang jahil. Jika ia meneladani leluhurnya maka ujub bukanlah termasuk akhlak leluhurnya, akan tetapi yang merupakan akhlak leluhurnya adalah rasa khouf (takut), merendahkan diri, menghormati manusia, dan mencela nafsu/jiwa mereka. Sungguh mereka (para leluhur) telah mencapai kemuliaan dengan ketaatan dan ilmu serta akhlak-akhlak yang terpuji. Mereka tidak meraih kemuliaan dengan nasab, maka hendaknya ia menjadi mulia dengan perkara-perkara yang menjadikan para leluhurnya mulia.
Sungguh ada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir yang telah menyamai mereka dan menyertai mereka dari sisi nasab dan kabilah (suku), akan tetapi mereka di sisi Allah lebih buruk dari pada anjing-anjing dan lebih hina dari pada babi-babi. Karenanya Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan”
Yaitu tidak ada tingkatan-tingkatan pada nasab-nasab kalian karena kalian berkumpul pada asal yang satu/sama. Kemudian Allah menyebutkan faedah nasab, maka Allah berfirman
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
“Dan Kami menjadikan kalian berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal
Kemudian Allah menjelaskan bahwasanya kemuliaan adalah karena ketakwaan bukan karena nasab, maka Allah berfirman
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kalian” (QS Al-Hujuroot : 13)
Tatkala dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ؟ مَنْ أَكْيَسُ النَّاسِ؟ (Siapakah orang yang paling mulia?, siapakah orang yang paling cerdas?), maka Rasulullah tidak berkata, “Orang yang paling mulia adalah orang yang nasabnya berarah ke nasabku”, akan tetapi Nabi berkata,
أَكْرَمُهُمْ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَشَدُّهُمْ لَهُ اسِتِعْدَادًا
“Orang yang paling mulia adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling kencang persiapannya untuk kematian” (*Hadits ini dengan lafal : أَيُّ الْمُؤْمِنِيْنَ أَفْضَلُ؟
“Orang mukmin manakah yang paling afdol?” diriwayatkan oleh Ibnu Majah no 4249 dan dihasankan oleh Al-‘Irooqi dalam Al-Mughni, dan dihasankan oleh Al-Albani. Dan lafal ini semakna dengan lafal مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ؟ “Siapakah orang yang paling mulia?”. Lafal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyaa dalam kitabnya Makaarim Al-Akhlaaq hal 18*-pen)…
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ كُلُّكُمْ بَنُوْ آدَمَ وَآدَمُ مِنْ تُرَابٍ
“Sesungguhnya Allah telah menghilangkan dari kalian kesombongan jahiliyah, kalian seluruhnya anak keturunan Adam, dan Adam dari tanah” (*HR Abu Dawud no 5116 dan At-Thirmidzi no 3270 dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ لاَ تَأْتِي النَّاسُ بِالأَعْماَلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَتَأْتُوْنَ بِالدُّنْيَا تَحْمِلُوْنَهَا عَلى رِقَابِكُمْ تَقُوْلُوْنَ يَا مُحَّمَدُ يَا مُحَمَّدُ فَأَقُوْلُ هَكَذَا أَيْ أُعْرِضُ عَنْكُمْ
“Wahai jama’ah suku Quraisy, janganlah orang-orang datang pada hari kiamat dengan membawa amal-amal sholeh sedangkan kalian kalian datang membawa dunia yang kalian pikul di atas leher-leher kalian, (lalu) kalian berkata : “Wahai Muhammad..wahai Muhammad !”, maka akupun berpaling dari kalian” (*HR At-Thobroni dan dinyatakan dho’if oleh Al-‘Irooqi dalam Al-Mughni ‘an haml Al-Asfaar)
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwasanya jika kaum suku Quraisy condong kepada dunia maka nasab Quraisy mereka tidak akan memberi manfaat bagi mereka.
Tatkala turun firman Allah
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأقْرَبِينَ (٢١٤)
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” (QS As-Syu’aroo : 214),
Maka Nabipun memanggil rumpun-rumpun dari suku Quraisy hingga akhirnya beliau berkata :
يَا فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ يَا صَفِيَّةُ بِنْتُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَمَّةُ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم اِعْمَلاَ لِأَنْفُسِكُمَا فَإِنِّي لاَ أُغْنِي عَنْكُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا
“Wahai Fatimah putrid Muhammad, wahai Shofiyyah binti Abdil Muthholib bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaknya kalian berdua beramal sholeh untuk menyelamatkan kalian, karena sesungguhnya aku tidak bisa menolong kalian berdua sedikitpun” (HR Muslim no 206)
Barangsiapa yang memahami perkara-perkara ini dan mengetahui bahwasanya kemuliaannya sesuai dengan kadar ketakwaannya dan kebiasaan leluhurnya/nenek moyangnya dahulu adalah tawaadlu’ maka ia akan meneladani mereka dalam ketakwaan dan ke-tawaadhu’-an, dan jika tidak maka ia telah mencela nasab dirinya sendiri dengan lisaan haal-nya bagaimanapun juga ia berafiliasi kepada leluhurnya namun tidak meniru mereka dalam sifat tawadhu’, ketakwaan, rasa khouf dan khawatir. (*yaitu sikapnya melazimkan ia mencela nasabnya meskipun lisannya mengaku menjunjung nasabnya-pen).(demikian perkataan Al-Gozali rahimahullah dalam Ihyaa ‘Uluumiddiin 3/375-376)
Kedua : Ujub terhadap keindahan tubuh dan parasnya.
Al-Ghozaali berkata : “Yaitu ia ujub dengan badannya, tentang indahnya tubuh dan penampilannya serta sehat dan kuatnya tubuhnya, serta sepadannya bentuk tubuhnya dan indahnya paras, serta bagusnya suaranya. Secara global ia ujub dengan bentuk tubuhnya maka iapun melihat kepada indahnya dirinya dan lupa bahwa hal itu adalah nikmat dari Allah, serta lupa bahwa kenikmatan tersebut terancam untuk hilang dalam setiap saat.
Obat untuk menyembuhkan ujub ini yaitu…merenungkan kotoran yang ada dalam tubuhnya…, dan ingat bahwasanya wajah-wajah yang indah dan tubuh-tubuh yang halus bagaimanapun akan hancur di tanah dan menjadi bau dalam kuburan hingga tabi’at manusiapun akan merasa jijik” (Ihyaa ‘Uluumiddiin 3/374).
Ketiga : Ujub dengan kekuatan.
Al-Ghozali rahimahullah berkata, “Ujub dengan kekuatan, sebagaimana dihikayatkan dari kaum ‘Aad” (Ihyaa ‘Uluumiddiin 3/374)
Allah berfirman :
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ (١٥)
Adapun kaum ‘Aad Maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” dan Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) kami. (QS Fusshilat : 15)
Keempat : Ujub dengan kecerdasan dan akal
Al-Ghozali rahimahullah berkata : “Ujub dengan akal, kecerdasan, kecerdikan, dan kepandaian terhadap perkara-perkara yang pelik dari kemaslahatan agama dan dunia. Buah dari ujub ini adalah keras kepala dengan pendapatnya dan meninggalkan musyawarah, dan membodoh-bodohkan orang-orang yang menyelisihinya dan menyelisihi pendapatnya. Juga menyebabkan kurangnya ia mendengarkan para ulama, berpaling dari mereka karena merasa sudah cukup dengan pendapat, akal sendiri, dan merendahkan mereka.
Obatnya adalah hendaknya ia bersyukur kepada Allah atas akal/kecerdasan yang telah Allah anugerahkan kepadanya, dan hendaknya ia merenungkan bahwasanya bisa saja dengan penyakit yang sangat ringan menyerang otaknya maka bagaimana akhirnya iapun menjadi orang yang terganggu dan gila sehingga jadi bahan tertawaan, maka hendaknya ia tidak merasa aman bahwa akalnya bisa dihilangkan oleh Allah jika ia ujub dengan akalnya lantas tidak menjalankan konsekuensi rasa syukur atas anugerah akalnya tersebut.
Hendaknya ia merasa kurang akalnya dan sedikit ilmunya, dan hendaknya ia mengetahui bahwasanya ia tidak dianugerahi kecuali hanya sedikit ilmu. Meskipun ilmunya luas akan tetapi apa yang dia tidak ketahui dari perkara-perkara yang diketahui manusia lebih banyak dari apa yang diketahuinya, maka bagaimana lagi dengan ilmu dari Allah yang juga tidak diketahui oleh manusia?.
Hendaknya ia mencurigai akalnya dan hendaknya ia melihat orang-orang dungu yang ta’jub dengan akal mereka padahal orang-orang menertawakan mereka, maka dia waspada jangan sampai ia termasuk orang-orang dungu tersebut tanpa dia sadari, karena seseorang yang akalnya pendek tidak sadar akan pendeknya akalnya, maka hendaknya ia mengetahui (*hakekat) kadar akalnya dari orang lain, bukan dari dirinya sendiri, dan mengetahui kadar akalnya dari musuh-musuhnya bukan dari teman-temannya, karena barangsiapa yang berbasa-basi dengannya akan memujinya sehingga akan menambah sikap ujubnya, padahal ia tidak memandang pada dirinya kecuali kebaikan, dan dia tidak sadar akan kebodohan dirinya, maka semakin bertambahlah ujubnya terhadap akalnya” (Ihyaa ‘Uluumiddiin 3/375)
Kelima : Ujub terhadap jumlah yang banyak
Al-Ghozali rahimahullah berkata :
“Ujub dengan jumlah yang banyak, baik banyaknya anak, atau banyaknya pembantu, keluarga, kerabat, banyaknya penolong maupun banyaknya pengikut. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang kafir :
نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالا وَأَوْلادًا
“Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu)” (QS Saba’ : 35)
Sebagaimana juga yang dikatakan oleh kaum mukminin tatkala perang Hunain, “Kita tidak akan kalah pada hari ini karena sedikitnya pasukan”
Obatnya penyakit ujub ini adalah…hendaknya ia merenungkan tentang lemahnya dirinya dan mereka (*yaitu banyaknya jumlah yang ia ujubkan-pen) juga lemah, dan seluruhnya adalah para hamba yang lemah yang tidak mampu memberikan kemanfaatan ataupun kemudhorotan bagi diri mereka sendiri.
كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ
“Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah”(QS Al-Baqoroh : 249)
Lantas bagaimana ia bisa ujub dengan mereka (jumlah yang banyak tersebut)?, padahal mereka akan terpisah darinya, tatkala ia meninggal dan dikubur di dalam kuburannya dalam kondisi terhinakan, sendirian, tidak seorangpun yang akan menemaninya baik istri, anak, kerabat, sahabat, kabilah…, mereka semua menyerahkannya kepada kehancuran, kepada ular-ular, kalajengking, dan ulat-ulat. Mereka tidak akan bisa membantunya sama sekali justru pada saat dimana ia sangat membutuhkan mereka.
Demikian pula mereka akan lari meninggalkannya tatkala hari kiamat..
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ (٣٤)وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ (٣٥)وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ (٣٦)
“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya” (QS Abasa : 34-36)
Maka kebaikan apakah yang ada pada orang yang akan meninggalkanmu tatkala engkau dalam kondisi yang sangat kritis, dan dia lari darimu??, dan bagaimana engkau ujub dengannya? sementara tidak ada yang bisa membantumu di kuburan, pada hari kiamat, tatkala engkau berada di atas shiroth kecuali amalan sholehmu dan karunia Allah. Maka bagaimana engkau bersandar kepada orang yang tidak membantumu sementara engkau lupa karunia Dzat yang memiliki kemanfaatan dan menolak kemudhorotan dari dirimu dan berkuasa atas kematianmu dan kehidupanmu?
Keenam : Ujub dengan harta
Al-Gozali rahimahullah berkata :
“Ujub dengan harta sebagaimana firman Allah tentang si pemiliki dua kebun yang berkata :
أَنَا أَكْثَرُ مِنْكَ مَالا وَأَعَزُّ نَفَرًا (٣٤)
“Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat” (QS Al-Kahfi : 34)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang yang kaya, lalu duduk di sampingnya seorang yang miskin, maka si kaya inipun mengumpulkan pakaiannya dan mau menjauh dari si miskin. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada si kaya :
أَخَشِيْتَ أَنْ يَعْدُوَ إِلَيْكَ فَقْرُهُ
“Apakah engkau takut kemiskinannya akan menular padamu?” (HR Ahmad dalam kitabnya Az-Zuhud)
Si kaya melakukan demikian karena ia ujub dengan kekayaannya. Obat ujub ini adalah hendaknya dia merenungkan tentang akibat-akibat buruk dari harta, mengingat tentang betapa banyaknya hak-hak harta dan betapa besarnya bencana harta, dan hendaknya ia melihat kepada keutamaan orang-orang miskin dimana mereka lebih dahulu masuk surga pada hari kiamat, dan harta datang dan pergi tanpa tersisa, dan melihat bahwasanya diantara orang-orang yahudi ada yang hartanya lebih banyak daripada hartanya, dan hendaknya ia merenungkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَتَبَخْتَرُ فِي حُلَّةٍ لَهُ قَدْ أَعْجَبَتْهُ نَفْسُهُ إِذْ أَمَرَ اللهُ الأَرْضَ فَأَخَذَتْهُ فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيْهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Tatkala ada seseorang yang berjalan dengan sombong dengan memakai pakaiannya (*yang indah) yang jiwanya dalam keadaan ujub maka Allah memerintahkan bumi sehingga menelannya, lalu iapun terombang-ambing dalam bumi hingga hari kiamat” (HR Al-Bukhari no 5789 dan Muslim no 2088)
Rasulullah mengisyaratkan tentang hukuman akibat ujub terhadap dirinya dan hartanya (*pakaiannya yang indah),
Abu Dzar radhiallahu ‘anhu berkata:
كُنْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ لِي يَا أَبَا ذَرٍّ اِرْفَعْ رَأْسَكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابٌ جِيَادٌ ثُمَّ قَالَ اِرْفَعْ رَأْسَكَ فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابٌ خلقة فَقَالَ لِي يَا أَبَا ذَرٍّ هَذَا عِنْدَ اللهِ خَيْرٌ مِنْ قُرَابِ الْأَرْضِ مِثْلِ هَذَا
“Aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau masuk ke dalam masjid, lalu ia berkata kepadaku, “Wahai Abu Dzar angkatlah kepalamu!”, maka akupun mengangkat kepalaku tiba-tiba ada seorang yang memakai pakaian yang indah. Lalu Nabi berkata kepadaku, “Angkatlah kepalamu !”, maka akupun mengangkat kepalaku tiba-tiba ada seseorang yang memakai pakaian yang usang, maka Nabi berkata kepadaku, “Wahai Abu Dzar orang ini lebih baik di sisi Allah dari pada sepenuh bumi orang yang tadi” (HR Ibnu Hibba no 681, dan dishahihkan oleh Syu’aib Al-Arnauuth dan Al-Albani)
Dan seluruh yang kami sebutkan dalam kitab Az-Zuhud, kitab Dzam ad-Dunya (mencela dunia), dan kitab Dzam Al-Maal (mencela harta) menjelaskan akan rendahnya orang-orang kaya dan mulianya orang-orang faqir di sisi Allah. Lantas bagaimana bisa terbayangkan ada seorang mukmin yang ujub dengan hartanya, akan tetapi seorang mukmin tidak akan lepas dari rasa takut karena tidak bisa menunaikan hak-hak harta dengan baik, yaitu mengambil harta dengan cara yang halal dan mengeluarkan harta sesuai pada tempatnya. Barangsiapa yang tidak melakukan demikian maka kesudahannya adalah pada kehinaan dan kebinasaan, maka bagaimana bisa ia ujub dengan hartanya?” (Ihyaa ‘Uluumiddiin 3/377)
Ketujuh : Ujub dengan pendapat yang salah
Al-Ghozali rahimahullah berkata:
“Allah berfirman :
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا
“Maka Apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu Dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ?” (QS Faathir : 8)
وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا (١٠٤)
“(Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini), sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (Qs Al-Kahfi : 104)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa ujub dengan pemikiran yang keliru akan mendominasi akhir umat ini. Karena hal ini maka binasalah umat-umat terdahulu tatkala mereka tercerai berai menjadi firqoh-firqoh, dan setiap firqoh ujub (ta’jub) dengan pemikirannya, dan..
كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)” (QS Al-Mukminun : 53)
Seluruh ahlul bid’ah dan seluruh pelaku kesesatan bersih keras di atas kesesatan dan bid’ah karena mereka ujub dengan pemikiran mereka, ujub dengan bid’ah, yaitu menganggap baik apa yang disetir oleh hawa nafsu dan syahwat disertai dengan persangkaan bahwa hal tersebut merupakan kebenaran.
Obat untuk ujub ini lebih berat dari obat dari ujub-ujub yang lain, karena seorang pemilik pemikiran yang salah adalah bodoh dengan kesalahannya, kalau seandainya dia mengetahui kesalahannya tentunya dia akan meninggalkannya. Dan tidaklah bisa diobati penyakit yang tidak diketahui penyakitnya, dan kebodohan adalah penyakit yang tidak terdeteksi, maka jadilah sangat sulit untuk menyembuhkannya.
Orang yang mengerti mampu untuk menjelaskan kepada orang yang bodoh akan hakekat kebodohannya dan mampu untuk menghilangkan kebodohan dari orang bodoh tersebut, kecuali jika orang yang bodoh tersebut ujub dengan pemikirannya dan kebodohannya, maka ia tidak akan memperhatikan penjelasan orang yang mengerti, bahkan ia akan menuduh orang yang mengerti tersebut. Maka sungguh Allah telah membuatnya terkuasai oleh bencana yang membinasakannya sementara dia menyangka bahwa bencana tersebut adalah kenikmatan…, lantas bagaimana mungkin mengobatinya??, bagaimana dia disuruh untuk kabur/lari dari perkara yang menurut keyakinannya adalah sebab kebahagiaannya.
Akan tetapi cara pengobatan penyakitnya secara umum adalah hendaknya ia senantiasa mencurigai pemikirannya dan tidak terpedaya dengan pemikirannya tersebut kecuali jika ditunjukkan dengan dalil yang qot’i (pasti dan yakin) dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah atau dalil akal yang shahih yang telah memenuhi persyaratan dalil-dalil” (Ihyaa Uluumiddiin 3/378)
Kedelapan : Ujub dengan bernasab/berafiliasi kepada para penguasa yang dzolim dan para pengikutnya
Al-Ghozali rahimahullah berkata :
“Ujub dengan afiliasi kepada para penguasa yang dzolim dan anak buah mereka bukan dengan afiliasi kepada agama dan ilmu. Ini merupakan puncak kebodohan. Cara mengobatinya adalah hendaknya ia memikirkan tentang kerusakan dan kehinaan mereka, dan juga kedzoliman yang mereka lakukan kepada hamba-hamba Allah serta kerusakan terhadap agama Allah, dan mereka adalah orang-orang yang dimurkai di sisi Allah. Jika ia melihat kepada rupa mereka dalam api neraka dan bau busuk serta kotoran mereka di dalam neraka maka tentunya ia akan enggan dari mereka dan akan berlepas diri dari berafiliasi kepada mereka, bahkan akan mengingkari orang yang berafiliasi kepada mereka karena merasa jijik dan hina terhadap mereka.
Kalau seandainya dinampakkan kehinaan dan kerendahan para penguasa tersebut pada hari kiamat, sementara orang-orang yang memusuhi mereka menuntut mereka sementara para malaikat memegang ubun-ubun mereka dan menyeret mereka di atas wajah-wajah mereka menuju neraka jahannam karena kedzoliman mereka kepada manusia, tentunya ia akan berlepas diri dari mereka. Dan jika ia berafiliasi kepada anjing dan babi akan lebih ia sukai daripada berafiliasi kepada para penguasa tersebut. Maka wajib bagi anak keturunan para penguasa tersebut –jika dijaga oleh Allah dari perbuatan dzolim sebagaimana leluhur (ayah-ayah) mereka- untuk bersyukur kepada Allah atas selamatnya agama mereka dan hendaknya mereka beristighfar untuk leluhur mereka jika leluhur mereka (para penguasa tersebut) adalah orang-orang Islam. Adapun ujub dengan bernasab/berafiliasi kepada leluhur mereka para penguasa tersebut maka itu merupakan murni kebodohan”. (Ihyaa ‘Uluumiddiin 3/376)
(Ust. Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja, M.A.)