Salat yang Mengubah Diri

“Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Salat termasuk sebaik-baik ibadah dan semulia-mulia amal. Allah Ta’ala mencintainya dan Rasulullah saw pun amat menekankan pelaksanaannya. Bagaimana tidak, Salat adalah kunci pembuka kebahagiaan sekaligus sarana tercanggih untuk menggapai optimalisasi diri.

Konsep Salat yang sebenarnya, dengan demikian, bukan hanya ketika kita Salatnya, tetapi justru setelah kita Salat. Salat itu hanya sebagai entri point atau gerbang pembuka saja, sebagaimana halnya basmalah sebagai kunci pembuka gerbang surga.

Lalu, sejauh mana kita mengaplikasikan konsep Salat dalam kehidupan? Pertama, cirinya kita harus cerdas. Bukankah Allah Ta’ala tidak menciptakan makhluk yang bodoh? Untuk itulah kita diperintahkan untuk iqra. Maka, ketika kita melakukan suatu perbuatan sesederhana apa pun, pastikan semuanya ada dalam kerangka iqra.

Mencegat angkot misalnya, kita tidak boleh sembarangan, dua puluh langkah ke depan harus kita pikirkan baik dan buruknya apabila kita mencegat angkot sembarangan. Boleh jadi, apa yang kita lakukan tersebut dianggap sepele, akan tetapi akibatnya bisa sangat fatal. Orang lain bisa celaka, lalu lintas menjadi macet, orang terzalimi, dan sebagainya. Belum lagi efek lanjutan yang ditimbulkannya. Jadi, satu hal kecil yang diabaikan bisa membawa efek yang besar dan berantai.

Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengingatkan agar kita senantiasa memikirkan akibat dari semua yang kita lakukan. “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Hasyr [59]: 18)

Ayat ini mengungkapkan bahwa orang bertakwa adalah dia yang senantiasa merencanakan masa depannya, termasuk memahami diri sendiri. Dengan menunaikan Salat, terkhusus Salat berjamaah di masjid, pengetahuan akan beragam potensi diri kita akan terbuka. Semakin istiqamah berjamaah, pintu-pintu solusi dan kecerdasan di otak pun akan semakin terbuka.

Dalam Salat berjamaah pun ada merit sistem, yaitu siapa yang datang ke masjid lebih dulu, ia lebih layak mendapatkan shaf terdepan. Di sinilah rasa keadilan kita dapatkan. Ada pun rasa keadilan ini sendiri ada aspek biopsikologisnya. Bukankah orang yang terzalimi akan muncul respons defensifnya dan orang yang terzalimi pun akan diijabah doanya?

Hal ini terjadi karena dia memiliki pikiran buruk yang menghasilkan kemarahan (sebagai bagian dari ketakutan; takut harga dirinya diinjak-injak, takut haknya diambil, dan sebagainya). Ketika seseorang marah, kemarahan itu akan terfokus kepada objek yang dimarahi dengan energi yang sangat kuat. Orang yang sedang marah atau tengah ditekan oleh rasa takut dosis tinggi, keseluruhan tubuhnya akan memancarkan sinyal-sinyal negatif. Itulah mengapa, doa orang yang dizalimi itu akan ijabah karena ia mengonsentasikan diri pada orang yang dibencinya, sehingga orang yang menjadi objek kemarahan akan tertular atau terinterferensi oleh gelombang kemarahan. Bayangkan jika yang mendoakannya seribu orang, dan itu tidak mengenal ruang dan waktu, betapa dahsyat efek yang akan diterima orang yang didoakan tersebut.

Ada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Benyamin Libet. Ia ingin membuktikan bahwa kesadaran manusia itu bisa dimanipulasi. Penelitiannya terlihat lucu. Libet ingin tahu berapa lama orang dicubit dan otak merespons cubitan tersebut. Subjek yang akan dicubit, ia tutup matanya sehingga tidak bisa melihat, lalu diukur di daerah sensor otaknya. Apa yang terjadi? Baru saja tangan si pencubit akan sampai ke kulit, otak orang ini sudah tahu dan langsung merespons. Kemudian, ia mencoba untuk mencubit langsung di otaknya dengan menggunakan alat berupa sensasi listrik, ternyata otaknya itu baru sadar setelah 500 mili second. Jadi, otaknya lebih lambat setengah detik. Mengapa orang bisa menyadari sebuah peristiwa sebelum peristiwa itu terjadi? Sesungguhnya, orang yang memiliki niat menyubit tadi sudah bisa ditangkap oleh subjek yang akan dicubit. Kita sudah membangun kesadaran bahwa ada orang yang berniat mencubit. Mengapa otak kita lebih lambat merespons? Cubitan langsung ke otak tidak menggunakan tangan, tetapi menggunakan kabel yang tidak memiliki perasaan sehingga ”sinyalnya” tidak tertangkap oleh tubuh. Ia baru menyadari setelah merasakan sensasi setrumnya.

Penelitian ini membawa kita akan sebuah kebenaran yang pernah disampaikan Rasulullah saw bahwa niat baik sudah diganjar pahala oleh Allah SWT. Ada pun niat buruk, ada 500 mili second untuk mengubahnya. Batas antara dosa dan pahala itu sangat tipis batasnya, yaitu hanya 500 mili detik. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa manusia itu memiliki kecenderungan untuk hanif, karena Allah senantiasa memberikan jangka waktu agar kita berpikir untuk memutuskan suatu tindakan. Allah pun sudah memberikan pertanda informasi sebelum sesuatu itu terjadi. Jadi, kalau seandainya setiap orang itu bisa jujur kepada dirinya sendiri, dosa itu itu sudah ketahuan setengah detik sebelumnya.

Salat sesungguhnya mengajari kita untuk jujur terhadap diri. Jujur bahwa kita lemah, banyak dosa, dan tidak mampu berbuat apa-apa tanpa pertolongan Allah. Salah satu bentuk kejujuran tersebut adalah senantiasa berniat benar dan lurus untuk kemudian menjalani kebenaran tersebut dengan ikhlas. Maksiat pada hakikatnya adalah sebentuk ketidakjujuran terhadap Tuhan dan terhadap diri sendiri. Maka, Salat yang benar akan mampu mencegah orang dari perbuatan keji dan munkar, serta menjadikannya hidupnya lebih baik. (Tauhid Nur Azhar)