Etika dan Prinsip Bisnis dalam Islam

Islam memandang dunia ini bukan sebagai sesuatu yang hina dan harus dihindari. Tapi Islam mengajarkan agar bisa dimanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan akhirat (al dunya mazra’at al akhirah). Al-Quran dan Al-Hadit sebagai sumber utama umat Islam banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana sikap terbaik yang harus dilakukan dalam kehidupan di dunia ini. Tidak ada satu pun ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk menjadi pengemis, pemalas, miskin atau perbuatan hina lainnya.

Islam menekankan agar menjadi orang yang memberi, bukan yang meminta; membayar zakat, bukan yang menerima zakat; memberi infak atau shodaqah, bukan yang menerima infak atau shodaqah; dermawan, bukan kikir; berlapang, bukan yang sempit; melepaskan perbudakan, bukan untuk menjadi budak dan lainnya.

Jadi, agama Islam berupaya menjadikan umatnya menjadi orang-orang kaya (al-yad al ’ulya) bukan orang-orang yang miskin (al-yad al-supla).

Selain memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk melakukan usaha (bisnis), Islam juga memberikan beberapa prinsip dasar yang menjadi etika normatif yang harus ditaati ketika seorang muslim akan dan sedang menjalankan usaha. Beberapa prinsip di bawah ini sangat jelas membedakan antara prinsip ekonomi Islam dengan prinsip Kapitalisme dan Sosialisme.

Pertama, proses mencari rizki bagi seorang muslim merupakan suatu tugas wajib. Rasulullah Saw bersabda, ”Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan sebuah kewajiban, disamping tugas-tugas lain yang diwajibkan” (HR Al-Baihaki). Juga dalam surat At-Taubah ayat 105, ”Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu”.

Kedua, rizki yang kita cari haruslah rizki yang halal. ”Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Qs.Al-Baqarah: 275). Nabi Muhammad Saw bersabda, yang diriwayatkan Jabir, ”Daging yang tumbuh dari suatu yang haram tidak akan masuk surga, sedangkan neraka lebih sesuai bagi semua daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram”.

Ketiga, bersikap jujur dalam menjalankan usaha. Abu Sa’ad meriwayatkan, Rasulullah Saw bersabda, ”Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, orang-orang jujur dan para syuhada” (HR Tirmidzi).

Keempat, semua proses yang dilakukan dalam rangka mencari rizki haruslah dijadikan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sehingga ridha Allah merupakan tujuan utama dari aktifitas bisnis kita. ”Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (Qs Al-Jumu’ah :10).

Kelima, bisnis yang akan dan sedang dijalankan jangan sampai menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Aspek kesinambungan dan keselarasan dengan alam menjadi suatu keharusan. Islam memberikan keistimewaan bagi manusia untuk menjadi khalifah di alam dunia ini, sehingga kita harus bisa mengatur kehidupan ini lebih berkeadilan, terhadap semua makhluk Allah seperti lingkungan hidup. Harus ada perubahan paradigma bahwa seluruh kekeyaan alam ini bukan merupakan warisan dari nenek moyang, yang sekehendaknya dihabiskan dengan seenaknya. Harusnya berpikir untuk mengelolanya dengan lebih baki karena anak cucu kita meneruskan kehidupan di muka bumi ini.

Keenam, persaingan dalam bisnis bukan menjadi persoalan yang tabu, tapi justru persaingan dijadikan sebagai sarana untuk bisa berprestasi secara fair dan sehat (fastabikul al-khayrat). Kalau Allah tidak menghendaki adanya persaingan, maka tentu Allah tidak akan menciptakan kita dalam beragam etnis dan budaya yang berbeda. Adanya persaingan justru harus bisa memacu umat Islam untuk menjadi umat yang terbaik (khairu ummat). Jadikanlah sebagai partner untuk memicu kita agar menjadi manusia-manusia yang kreatif dan terus berinovasi untuk menghasilkan produk-produk baru.

Ketujuh, dalam menjalankan bisnis tidak boleh berpuas diri dengan apa yang sudah didapatkan. Islam mendorong pemeluknya untuk menjadi manusia-manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dicapai dan selalu haus akan adanya penemuan-penemuan baru. Allah SWT berfirman, ”Apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain” (Qs.Al-Insyirah: 7).

Kedelapan, menyerahkan setiap amanah kepada ahlinya, bukan kepada sembarang orang, sekalipun keluarga sendiri. Rasulullah Saw bersabda, ”Jika suatu urusan diserahkan kepada (orang) yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancurannya”. Dari hadis ini menunjukan harus adanya prinsip profesionalisme kerja. Dalam surat An-Nisa ayat 58, Allah SWT berfirman, ”Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu untuk menyerahkan amanat kepada ahlinya dan jika kamu memutuskan suatu perkara di antara manusia, hendaknya kamu putuskan dengan adil”.

Selain mengatur etika dan prinsip dalam bisnis, Islam juga memberikan tuntunan jika usaha tersebut mencapai kesuksesan dan kemajuan, di antaranya:

Pertama, keuntungan yang kita dapatkan tidak semata-mata karena hasil kerja keras kita saja, namun kesemuanya itu tidak terlepas dari adanya bentuk Allah SWT. Sehingga seseorang yang sukses tidak boleh sombong. Ia harus bersyukur kepada Allah SWT. Allah SWT dalam surat Ibrahim ayat 7 berfirman, ”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah nikmat kepada kamu. Dan jika kamu mengingkari nikmatku, maka sesungguhnya azabku sangat pedih”.

Kedua, dalam setiap keuntungan yang kita dapatkan, terdapat hak-hak orang lain. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hartamu ada bagian untuk orang lain” (Qs.Adz-Dzaariyat:19). Sehingga Islam menganjurkan pada yang sukses untuk mengeluarkan zakat, infak atau shodaqah. Sehingga mereka yang kurang beruntung dalam hidupnya (dhuafa dan fakir miskin) bisa merasakan rasa kekeluargaan dan kebersamaan antar sesama umat Islam.

Ketiga, harus disadari bahwa suksesnya bisnis ditunjang hasil kerja keras sebuah tim atau karyawan. Islam menekankan pentingnya untuk berterimaksih kepada mereka dan memberikan hak-haknya secara cepat dan sebaik-baiknya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menganjurkan untuk membayar upah kepada karyawan, sebelum keringat mereka mengering. (Muhammad Asep Zaelani)