Nasihat Imam al-Ghazali

Wahai anakku! Memberi nasihat itu mudah, yang sulit ialah menerimanya. Sebab bagi orang yang dikuasai hawa nafsu nasihat akan terasa pahit, sementara hal yang dilarang akan terasa manis. Terutama bagi seseorang yang menuntut ilmu hanya sebagai formalitas saja, yang diprioritaskan hanyalah profesi dan prestasi dunia belaka. Dia menyangka bahwa ilmu dengan sendirinya dapat menyelamatkan, tanpa perlu diamalkan. Dan ini adalah keyakinan para filsuf.

Mahasuci Allah! Dia tidak tahu bahwa ilmu tanpa pengamalan hanya akan menjadi lawan yang memberatkannya di akhirat. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw, “Sesungguhnya azab terbesar di hari akhirat diperuntukkan bagi orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya.” (HR. ad-Dainury).

Dikisahkan bahwa sesudah wafatnya Imam al-Junayd, seseorang memimpikan dan bertanya kabar kepadanya. Imam al-Junayd menjawab, “Kata-kataku telah menguap, ilmu-ilmuku telah lenyap, yang tersisa hanyalah beberapa rakaat salat yang kulakukan di tengah gelapnya malam.”

Wahai anakku! Janganlah kamu menjadi orang yang merugi dalam amal ibadah. dan jangan pula menjadi orang yang tak memiliki rahasia indah di dalam hatimu. Yakinlah bahwa ilmu saja tidak dapat menyelamatkan seseorang. Seumpama seseorang yang memiliki sepuluh pedang dan senjata tajam lainnya; dia pemberani dan menguasai strategi perang. Ketika berhadapan dengan singa, bagaimana menurutmu? Apakah fakta bahwa ia memiliki senjata dapat menyelamatkannya tanpa perlu ia gunakan? Tentu saja tidak.

Begitu pula dengan seseorang yang telah menelaah seribu materi ilmiah, mempelajarinya, bahkan mengajarkannya. Semua itu tak akan bermanfaat tanpa diamalkan. Demikian pula jika seseorang menderita sakit panas misalnya, yang disebabkan oleh sakit kuning sementara obatnya sakanjabi (larutan cuka dan madu) serta kasykab (air jerangan gandum), dia tidak akan sembuh kecuali dengan meminum obatnya tersebut. Meski kau tuang 2.000 liter arak sekalipun, engkau takkan mabuk selagi tidak meminumnya.

Begitu pula jika kamu telah berguru ratusan tahun, membaca ribuan kitab, kamu tak akan bersiap meraih rahmat Allah SWT tanpa mengamalkannya. Dalam hal ini Allah Ta’ala telah berfirman:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰى ۙ ﴿النجم : ۳۹

Artinya: Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.” (QS. an-Najm [53]: 39).

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوْحٰٓى اِلَيَّ اَنَّمَآ اِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۚ

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا ࣖ ﴿الكهف : ۱۱۰

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.’ Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. al-Kahfi [18]: 110).

Bagaimana pula pendapatmu tentang hadis ini. Rasulullah saw bersabda, Islam ditegakkan dengan lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan salat; membayar zakat; berpuasa di bulan Ramadan dan pergi haji bagi yang mampu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Lagipula bukankah iman itu sendiri adalah ucapan dengan lisan, pembenaran dengan hati, dan pengamalan dengan anggota badan? Dalil tentang wajibnya kita mengerjakan amal saleh sangat banyak dan tak terhitung. Meskipun memang seorang hamba dapat masuk surga dengan rahmat dan kedermawanan Allah Ta’ala, akan tetapi surga adalah karunia bagi hamba yang taat dan mengerjakan ibadah. Karena sesungguhnya Allah SWT telah berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًا ۗ

اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ﴿الأعراف : ۵۶

Artinya: Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-A’raf [7]: 56).* (Gian)

*disunting dari kitab ‘Wahai Anakku’