PENETAPAN RAMADHAN (Bagian 2)

Ust. Abdul Wahab Lc.

 

Puasa Ramadlan tidak wajib dilakukan kecuali sudah ditetapkan kapan awal bulan ini. Karena

bulan ini adalah bulan Qomariah (berdasar hitungan rembulan), maka penatapannya adalah

melalui salah satu dari 2 cara, yaitu dengan melihat bulan atau menyempurnakan bulan

Sya’ban 30 hari.

 

  1. MELIHAT BULAN:

 

Peristiwa ini terjadinya pada malam 30 bulan Sya’ban, yang dilakukan oleh seorang saksi

yang adil atau lebih dari satu, dengan mengatakan bahwa dia telah melihat bulan. Dalil

tendensinya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar RA:

 

  • قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: ((إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ)).()

 

Ibn Umar berkata: aku mendengar Rasulullah SAW berkata: jika kalian semua melihat

bulan (Ramadlan), maka berpuasalah kalian, dan jika kalian melihat bulan(Syawal), maka

berbukalah, jika bulan tertutupi mendung atas kalian, maka pastikan untuknya (bulan

Syaban 30 hari)

 

() Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya, hadis no: (1900); Imam Muslim

dalam kitab Shahihnya, hadis no: (1080). Riwayat dari ‘Abdullah ibn ‘Umar RA.

 

  1. SEORANG SAKSI ADIL:

Dalam penetapan bulan, bisa dilakukan oleh seorang saksi adil yang telah melihat bulan,

dengan berdasar kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Umar RA, beliau berkata:

 

  • تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّى رَأَيْتُهُ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.()

 

Manusia pada (berkumpul) melihat bulan, lalu aku memberi tahu Rasulullah SAW bahwa

sesungguhnya aku telah melihat bulan, lalu beliau berpuasa pada bulan tersebut dan

memerintahkan manusia untuk berpuasa.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Sunannya, hadis no: (2344); ad-Daruqutny dalam

Sunannya, hadis no: (2170); ‘Abdullah ad-Darimy dalam Sunannya, hadis no: (1744). Riwayat

dari ‘Abdullah ibn ‘Umar RA.

 

Tendensi lain adalah dari hadis riwayat ibn ‘Abbas RA, sebagaimana berikut ini:

 

  • عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: جَاءَ أَعْرَابِىٌّ إِلَى النَّبِىِّ، فَقَالَ: أَبْصَرْتُ الْهِلاَلَ اللَّيْلَةَ. قَالَ: ((أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ)). قَالَ: نَعَم. قَالَ: ((يَا بِلاَلُ، أَذِّنْ فِى النَّاسِ، فَلْيَصُومُوا غَداً)).

 

Dari Ibn Abbas, dia berkata: datang seorang kampung kepada Rasulullah SAW, lalu dia

berkata: malam ini aku telah melihat bulan (Ramadlan). Nabi berkata: apakah kamu

bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad hamba dan utusannya.

Dia berkata: iya. Nabi berkata: wahai Bilal, beradzanlah untuk manusia, maka (perintahkan)

mereka untuk berpuasa besok.

 

Selanjutnya, karena melihat bulan dalam permasalahan ini adalah terkait dengan pewajiaban ibadah, maka kesaksian seorang saja bisa diterima, sebagai bentuk antisipasi kebenarannya, sebagaimana dalam permasalahan periwayatan hadis ahad. Proses penetapan Ramadlan setelah ada seorang yang melihatnya, dia harus memberikan kesaksian dahadapan majlis hukum (badan pemerintah yang berkompeten dalam masalah penetapan awal Ramadlan), lalu dia bersaksi dengan menggunakan kalimat persaksian, bahwa dia telah melihat bulan. Jika orang tersebut berhalangan dan tidak bisa datang kemajlis hukum, maka dia boleh memberikan kesaksiannya ini kepada orang lain, yang akan memberikan kesaksiannya kepada majlis hukum. Dalam permasalahan ini, kesaksian wanita tidak bisa diterima, juga persaksian anak yang memberikan kesaksiannya kepada bapaknya, untuk disampaikan kemajlis hukum.

 

Adapun penetapan bulan Syawal dan bulan-bulan yang lain, tidak diterima kecuali dilakukan oleh dua orang saksi yang adil, hal ini bertendensi kepada hadis yang diriwayatkan oleh al-Husain ibn Churaits al-Jadaly, Jadilah Qais, dia berkata:

 

  • أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ (الْحَارِثْ بنْ الْحَاطِبْ) خَطَبَ ثُمَّ قَالَ: عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ، فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ، نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا.()

 

Sesungguhnya penguasa Makkah (al-Charits ibn al-Chatib) berkhotbah, lalu dia berkata:

Rasulullah SAW menjanjikan kepada kita agar kita beribadah sebab melihat bulan, jika kami

tidak melihatnya dan telah bersaksi dua orang saksi adil, maka kami beribadah dengan

dasar kesaksian dua orang tersebut.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, hadis no: (2340); Abu bakar al-baihaqi

dalam Sunannya, hadis no: (8444). Riwayat dari Chusain ibn Churaits al-Jadaly RA.

 

Tidak diterima kesaksiannya orang kafir, fasiq, dan orang idiot, karena mereka adalah bukan tergolong orang-orang yang adil, dan menurut pendapat yang lebih shahih, diterima kesaksian dan riwayat dari orang yang tidak diketahui keadilannya baik secara lahir, maupun batin.

 

Jika seseorang yang bersaksi melihat bulan, akan tetapi persaksiaannya tidak diterima karena suatu alasan, atau jika persaksiaan orang yang fasiq atau idiot tidak diterima, maka orang tersebut wajib melaksanakan puasa sendiri, hal ini juga berlaku jika ada seseorang yang dirinya melihat bulan secara langsung, dan dia tidak memberikan kesaksian kepada majlis hakim, maka dia juga wajib berpuasa.

 

  1. PUASA KARENA BULAN DILIHAT DINEGARA/DAERAH LAIN:

Jika disuatu negara/daerah bulan telah dilihat, sedangkan pada negara/daerah lain bulan belum terlihat, maka jika negara atau daerah tersebut berdekatan, kedua negara/daerah wajib melaksanakan puasa secara bersamaan, karena keduanya dianggap seperti satu negara/daerah. Standar suatu wilayah dianggap berdekatan, ketika keduanya masih satu mathla (tempat terbitnya matahari). Ini artinya jika sudah berbeda dalam mathla, kedua wilayah tersebut sudah dianggap berbeda dan tidak sama dalam masalah penglihatan bulan, dan konsekuensi hukumnya, keduanya akan berbeda dalam waktu puasanya

 

Dalil permasalahan ini adalah diambil dari hadis berikut ini:

أَخْبَرَنِى كُرَيْبٌ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ ابْنَةَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، فَاسْتُهِلَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْنَا الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ، فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ، قُلْتُ: رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ. قَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ، قُلْتُ: نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلاَ نَزَالُ نَصُومُهُ حَتَّى نُكْمِلَ الثَّلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَفَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ، قَالَ: لاَ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kuraib menceritakan padaku, bahwa Ummula Fadli, puteri al-Charits, mengutusnya menghadap kepada Muawiah di Syam, dia berkata: lalu aku sampai dinegeri Syam, kemudian menyelesaikan keperluannya, selanjutnya nampaklah bulan Ramadlan, sedangkan pada saat itu aku berada diSyam, kami melihat bulan pada malam Jumat, lalu saya pulang keMadinah pada akhir bulan, selanjutnya Ibn Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyinggung tentang bulan, dia berkata: kapan kalian melihat bulan, aku berkata: aku melihatnya pada malam Jumat. Dia berkata: kamu melihatnya, aku berkata: iya dan orang-orang juga melihatnya, mereka berpuasa (saat itu) dan juga Muawiah. Ibn Abbas berkata: tetapi kita melihatnya pada malam Sabtu, lalu kami tetap berpuasa sampai kami menyempurnakannya 30 hari atau sampai kami melihat bulan. Lalu aku berkata: apakah kamu tidak menganggap cukup dengan penglihatan Muawiah (atas bulan) dan atas puasanya, dia berkata: tidak, seperti inilah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita.

 

Dari hadis diatas bisa disimpulkan, bahwa jika seseorang berpuasa dinegara/daerah yang telah melihat bulan, lalu dia bepergian kedaerah yang belum melihat bulan, dan belum berpuasa pada hari pertama, maka menurut pendapat paling shahih, orang tersebut harus mengikuti puasa negara/daerah tersebut didalam hari akhir puasa. Meskipun dia telah melakukan puasa selama 30 hari, karena perpindahan dia, dari suatu negara/daerah ke negara/daerah lain, menjadikannya harus mengikuti hukum negara tersebut. Hal ini mengecualikan jika dia melihat sendiri bulan awal Syawwal, maka dia boleh untuk tidak berpuasa, namun harus dilakukannya secara diam-diam.

 

Sebaliknya, jika seseorang melakukan puasa dari negara/daerah yang belum melihat bulan, menuju negara/daerah yang telah melihat bulan dan berpuasa lebih awal, maka dia juga harus mengikuti mereka dalam akhir Ramadlan/awal Syawwal, karena dia dianggap telah menjadi bagian dari mereka. Namun dalam permasalahan ini ada perincian, jika ternyata dengan mengikuti negara/daerah tersebut, dia hanya berpuasa 28 hari, maka dia wajib meng-qodlo’i satu hari pada kesempatan lain, karena bulan Qomariah tidak ada yang jumlahnya 28 hari, akan tetapi jika di telah berpuasa 29 hari, maka dianggap genap puasa Ramadlannya dan tidak perlu meng-qodlo’i.

 

Lalu seandainya seseorang melakukan perjalanan diwaktu pagi dari negara/daerah yang telah memasuki bulan Syawal, kenegara/daerah yang masih berpuasa, maka menurut pendapat yang paling shahih, dia sepanjang siang harus menahan diri dari berbagai perkara yang bisa membatalkan puasa, sebagaimana penduduk negara/daerah tersebut. Sebaliknya, jika dia melakukan perjalanan diwaktu pagi dari daerah yang masih melakukan puasa, lalu dia sampai kenegara/daerah tujuannya, sedangkan penduduknya telah memasuki awal Syawwal, maka dia harus mengikuti penduduk tersebut, yaitu membatalkan puasanya, dikarenakan dia telah dihukumi sebagaimana mereka, dan jika ternyata saat itu puasanya hanya 28 hari, maka dia wajib meng-qodlo’i satu hari lagi pada kesempatan yang lain, namun jika telah 29 hari, maka tidak perlu meng-qodlo’I satu hari lagi

 

. MENYEMPURNAKAN BULAN SYABAN 30 HARI

 

Jika tidak ada seorang atau lebih yang adil yang melihat bulan Ramadlan pada sore harinya bulan Sya’ban, maka itu artinya bulan Sya’ban harus disempurnakan 30 hari, dan baru setelahnya dimulai puasa Ramadlan. Dalil untuk permasalahan ini adalah sebagaimana hadis yang telah kami sebutkan diatas.

Jika suatu masyarakat pada siang harinya tanggal 30 Sya’ban mereka tidak berpuasa, karena mereka berprasangka bahwa siang itu belum memasuki bulan Ramadlan, namun ternyata pada siang harinya menjadi jelas bahwa hari itu adalah tanggal satu Ramadlan, maka pada siang itu juga mereka harus menahan diri dari berbagai perkara yang membatalkan puasa, tindakan ini sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan Ramadlan. Namun tindakan ini tidak berarti puasa (secara syara’), karena tidak adanya niat pada malam hari, dan mereka wajib meng-qodlo’i hari tersebut pada kesempatan lain, sebab hari tersebut telah jelas tanggal satu Ramadlan.

 

Jika bulan baru bisa dilihat pada siang harinya 30 Sya’ban atau siang harinya 30 Ramadlan, maka itu berarti berlaku untuk malam yang akan datang, dan bulan baru dimuali hari berikutnya. Dalil akan hal ini adalah riwayat berikut ini:

 

  • حَدَّثَنَا الأَعْمَشُ، عَنْ شَقِيقٍ، قَالَ: جَاءَنَا كِتَابُ عُمَرَ وَنَحْنُ بِخَانِقِينَ، وَقَالَ فِى كِتَابِهِ: إِنَّ الأَهِلَّةَ بَعْضُهَا أَكْبَرُ مِنْ بَعْضٍ، فَإِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ نَهَاراً، فَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى يَشْهَدَ شَاهِدَانِ ذَوَا عَدْلٍ أَنَّهُمَا رَأَيَاهُ بِالأَمْسِ.()

 

Diceritakan dari al-Amasy, dari Syaqiq, dia berkata: datang padaku surat dari umar, sedangakn saat itu kami berada di Khaniqin, dia berkata dalam suratnya: Sesungguhnya bulan itu nampak lebih besar dari suatu daerah mengalahkan daerah yang lain, maka jika kalian melihat bulan pada siang hari, janganlah kalian membatalkan puasa kalian sehingga telah bersaksi 2 orang saksi adil bahwa kemarin mereka telah melihatnya.

 

ini adalah Atsar (perkataan sahabat Rasulullah SAW) shahih dari ‘Umar ibn Khattab RA, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan Kubranya, no: (8450);  ad-Daruquthni dalam Sunannya, no: (2221). Riwayat dari Syaqiq ibn Salamah RA.

 

ILMU HITUNG TIDAK DIANGGAP DALAM MENETAPKAN BULAN:

 

Penetapan Ramadlan tidak bisa dengan menggunakan hitungan ilmu hisab/ilmu hitung dan dengan ramalan bintang, yaitu sebuah hitungan yang berdasarkan kepada tempat berhentinya bulan dan perkiraan perjalanannya, alasannya adalah karena puasa merupakan ibadah dan kita tidak beribadah puasa kecuali dengan adanya ruyah (terlihatnya bulan), sebagaiman telah disebutkan dalam hadis diatas, sedangkan ilmu hisab dan ramalan bintang tidak ada hubungannya sama sekali dengan ibadah. Ini artinya keduanya tidak wajib berpuasa karena merasa telah mengetahui bulan dengan hitungan mereka, akan tetapi mereka boleh berpuasa (tidak untuk orang lain) namun dengan resiko puasanya tersebut tidak dianggap sebagai puasa Ramadlan.

 

Begitu juga penetapan Ramadlan tidak bisa dilakukan dengan mimpi, walaupun orang tersebut mengaku mimpi bertemu Rasulullah SAW yang berkata kepadanya: bahwa malam ini adalah awal Ramadlan, artinya tidak dianggap sah puasanya orang berdasar kepada mimpi tersebut, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain, karena syarat diterimanya periwayatan, khabar dan persaksian adalah pelaku harus dalam kondisi terjaga saat menerima atau melihat apa yang akan disampaikannya, sedangkan orang tidur berarti tidak terjaga dan tidak dalam kondisi ingat, sehingga kesaksiannya tidak dianggap, bukan karena ragu dengan mimpinya, akan tetapi dianggap tidak memenuhi syarat dalam periwayatan/persaksian yang menyaratkan adanya dlabtu al-rawi (ingatan yang kuat dari orang yang meriwayatkan).

 

. PUASA DENGAN IJTIHAD:

 

Jika sesorang dalam kondisi tidak bisa melihat bulan dan tidak tahu menyempurnakan bulan Sya’ban 30 hari, karena dia tidak bisa lagi membedakan bulan yang dialaminya, sebagaimana orang yang dalam penjara atau tertawan, dan yang lainnya, hukumnya wajib bagi dia berijtihad, yaitu berusaha meneliti kapan bulan Ramadlan tiba, lalu dia berpuasa. Itu artinya puasanya tidak dianggap sah tanpa didahului ijtihad terlebih dahulu, meskipun saat dia melakukan puasa bertepatan dengan bulan Ramadlan

Selanjutnya, jika dia berijtihad dan berpuasa, maka terdapat 4 kondisi:()

 

  • Puasanya bertepatan dengan bulan Ramadlan. maka puasanya dianggap sah.
  • dia tetap dalam kebingungan dan ketidak tahuan, apakah puasanya bertepatan dengan Ramadlan, atau lebih awal, atau lebih akhir dari Ramadlan. Maka puasanya dianggap sah dan tidak wajib mengulangi, karena hukum yang tampak dari ijtihad adalah benar.
  • puasanya mendahului Ramadlan. Jika dia menemukan Ramadlan setelah itu, maka dia wajib berpuasa karena dia menemukan pada waktunya yang tepat, namun jika dia tidak mengetahuinya kecuali setelah Ramadlan selesai, maka menurut pendapat yang lebih shahih, dia wajib meng-qodlo’
  • puasanya setelah Ramadlan. Maka puasanya dianggap sah, karena dia telah niat puasa Ramadlan setelah diwajibkannya puasa, dan menurut pendapat yang lebih shahih dia wajib meng-qodlo’inya, karena dia melakukan puasa tidak pada waktunya.
  • () Lihat: Al-Mu’tamad fi al-Fiqhi al-Syafi’i, prof.Dr. Muhammad az-Zuhaily: 2/164, cet: 1/2007 M-1428 H, Dar Qalam, Dimasq.