Agar Bekerja Bernilai Ibadah

Saudaraku, Islam adalah agama sempurna. Petunjuk yang mengarahkan pada keselamatan sejati bagi siapa saja yang menggenggamnya sekuat tenaga. Pedoman menuju kebahagiaan hakiki bagi siapa pun yang menjalankannya secara istiqamah.

Ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada salat, zakat, dan haji semata, melainkan setiap aspek hidup bisa menjadi ibadah. Dengan catatan dilaksanakan secara ikhlas hanya mengharap rida Allah semata dan berada dalam koridor sunnah Rasulullah saw.

Nabi Muhammad adalah manusia paling mulia; suri teladan bagi kita semua. Namun, meski beliau memiliki kedudukan sedemikian mulia di tengah manusia dan di hadapan Allah, Rasulullah saw tetap bekerja. Bahkan kita bisa membaca dari lembar demi lembar sejarah bahwa beliau adalah sosok mandiri sedari belia. Nabi pernah bekerja sebagai penggembala yang mengembalakan ternak milik orang lain. Beliau juga pernah bekerja sebagai pedagang yang mendagangkan barang-barang milik orang lain. Gelar al-Amin yakni orang yang tepercaya untuk beliau pun diberikan masyarakat di Kota Mekah salah satunya adalah karena interaksi dalam urusan perniagaan.

Allah SWT berfirman:

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَ ۗ

 وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ۚ ﴿التوبة : ۱۰۵

Artinya: Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (QS. at-Taubah [9]: 105).

فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ

 وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴿الجمعة : ۱۰

Artinya: “Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. al-Jumu’ah [62]: 10).

Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan dia menggembalakan kambing.” Para sahabat bertanya, “Termasuk engkau juga?” Maka beliau menjawab, Ya aku pun menggembalakannya dengan upah beberapa qirath untuk penduduk Mekah.” (HR. Bukhari).

Demikian pula dengan para nabi dan rasul terdahulu sebelum Nabi Muhammad, mereka adalah orang-orang mulia yang tidak berpangku tangan dalam menjemput rezeki. Para nabi dan rasul memiliki pekerjaannya masing-masing sebagai lahan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala.

Nabi Adam misalnya beliau adalah seorang petani. Nabi Nuh sebagai tukang kayu. Nabi Ibrahim berkebun. Nabi Yusuf merupakan pegawai negara. Nabi Daud sebagai pandai besi. Masya Allah, para nabi itu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Lantas pekerjaan apa yang paling utama? Apakah yang paling besar pendapatannya, yang paling besar omsetnya, yang paling rapi penampilannya? Saat ini tidak sedikit manusia yang keliru memahami pekerjaan paling baik. Biasanya materi dan uang menjadi patokan. Semakin besar uang yang didapat dari suatu pekerjaan, maka pekerjaan tersebutlah yang paling baik. Padahal tidak demikian.

Nabi Muhammad saw pernah ditanya, “Wahai Rasulullah, mata pencarian apakah yang paling baik? Beliau bersabda, Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan setiap jual-beli yang mabrur atau diberkahi. (HR. Ahmad).

Dalam hadis ini sangat terang bahwa suatu pekerjaan yang utama hendaknya tidak diukur dengan besar atau kecilnya materi. Karena dalam hadis ini pertanyaannya menggunakan kata thayyib atau baik; berkah. Semakin berkah suatu pekerjaan maka semakin utama pekerjaan tersebut. Maka kita pun bisa memahami dalam bekerja itu yang kita kejar adalah berkahnya bukan sedikit atau banyaknya.

Berbahagialah bagi siapa pun yang diberi kesempatan untuk bekerja. Kesempatan dalam arti potensi yang dimiliki oleh diri kita sehingga kita bisa mengerjakan sesuatu sebagai ikhtiar menjemput rezeki. Dan bekerja yang bisa bernilai ibadah adalah dambaan kita semua agar tidak hanya kebutuhan duniawi yang bisa diraih, melainkan juga kebahagiaan di akhirat pun diraih. (KH. Abdullah Gymnastiar)