Agar Zakat Jadi Solusi

Sebuah ironi sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar, namun justru kemiskinan masih menjadi permasalahan utama bangsa ini. Pasti ada yang ’salah’ dengan kita,  yang notebene muslim. Bukankah Islam sangat mengajarkan pentingnya beerbagi dengan sesama, sehingga kesenjangan kaya miskin perlahan dapat diminimalis?

Beragam analisa dan riset telah dikemukakan, andai seluruh masyarakat muslim Indonesia membayar zakat, potensinya bisa mencapai angka 19 triliun (riset by PBB UIN). Sebuah angka fantastis untuk mengatasi kemiskinan akut negeri ini. Namun realitanya (data dari FOZ), total penghimpunan dana zakat hanya mencapai angka ratusan milyar. Sungguh, hanya sebagian kecil dari potensi yang diperkirakan.

Maka,tugas kita untuk mengeksplorasi potensi zakat, sehingga menjadi sebuah keniscayaan. Bahwa zakat mesti menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap muslim kaya Indonesia. Kita bisa mulai dengan sosialisasi lebih intensif dan berkesinambungan. Karena, boleh jadi masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai aturan berzakat.

Zakat, Tatanan Kehidupan Sosial Masyarakat Muslim

Sejak lebih dari 14 abad lalu, zakat menjadi kewajiban sosial yang menjadi syarat keiIslaman seseorang. Dalam al-Quran, banyak kita temukan ayat yang menggandengkan salat dan zakat bersamaan,  sebagai indikator ketaatan seorang muslim kepada Islam. Orang yang gemar berzakat juga akan mendapatkan kebahagiaan, ketenteraman karena zakat akan mengikis habis sifat kikir, dan tamak terhadap harta. Tentu, pertolongan Allah kian mudah diraih, insya Allah.

Sebaliknya Allah SWT sangat murka kepada  orang yang tidak mau membayar zakat, dan tentu akan mendapat azab-Nya. Jika keengganan menunaikan zakat ini memassal, Allah akan menurunkan azab-Nya berupa kemarau panjang (HR. Imam Tabrani). Karena itulah, Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq bertekad memerangi orang yang tidak suka membayar zakat, meski ia salat (Fiqh Sunnah).

Dalam Islam, kepemilikan harta adalah mutlak milik Allah. Adapun manusia hanya mendapatkan amanah, titipan semata. Karena itu, dalam mengelola amanahnya, seorang muslim mesti mendahulukan menunaikan hak Allah, yaitu zakat. Barulah setelah itu, ia dibolehkan menunaikan haknya, memanfaatkan harta secara syar’i.

Analoginya ketika kita membeli baju baru yang didapat susah payah, berdesakan di pasar. Pasti akan lebih nyaman dipakai jika dicuci dan disetrika dulu sebelum digunakan, sehingga kotoran yang menempel selama di toko hilang, bersih. Begitu pun harta, jika setelah mendapatkannya, disisihkan terlebih dahulu untuk zakar dan infak, insya Allah lebih menenteramkan dan berkah. Bukankah kita tidak selalu sadar bahwa bisa jadi ada harta haram, atau proses yang tidak syar’i dalam upaya kita menafkahi diri dan keluarga?

Supaya zakat kian menjadi ibadah yang mudah, mesti pula berupaya meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga amil zakat yang ada. Masih banyak masyarakat yang lebih senang mengantarkan zakat, infak, sedekah (ZIS) langsung ke mustahik, daripada menitipkannya via LAZ atau BAZ. Maka, sebuah keharusan bagi pengelola zakat (amil) untuk terus kreatif meningkatkan profesionalitasnya dalam melayani dan mengemas program pendayagunaan ZIS.

Suatu ketika, saat awareness masyarakat telah tergugah plus eksisnya LAZ atau BAZ yang sangat amanah dan smart mendistribusikan dana ummat (ZIS), yakinlah akan menjadi solusi terbaik bagi pengentasan kemiskinan. Tidak akan ada lagi kelaparan di negeri yang dikaruniai Allah kekayaan alam nan melimpah ruah ini, insya Allah. (daaruttauhiid)