Akibat Menelantarkan Waktu

“Dari Mu’adz bin Jabal, bersabda Rasulullah saw, ‘Tidak akan tergelincir (binasa) kedua kaki seorang hamba di hari kiamat, sehingga ditanyakan kepadanya empat perkara: usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan, hartanya darimana ia dapatkan dan pada siapa ia keluarkan, serta ilmunya dan apa-apa yang ia perbuat dengannya.’” (HR. Bazzar dan Thabrani)

Waktu adalah modal. Maksudnya, memanfaatkan waktu sebaik mungkin akan melahirkan berbagai keuntungan. Melalui waktu, kita ukir prestasi. Maka, baik buruk prestasi seseorang sangat ditentukan oleh tata nilai dan manajemen waktu yang digunakannya.

Dalam kaitannya dengan masalah waktu, Allah SWT mengingatkan manusia dengan beberapa ungkapan, “Demi malam apabila menutupi cahaya siang dan siang apabila terang benderang. Demi fajar dan malam yang sepuluh. Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam apabila telah sunyi. Demi masa, sungguh manusia itu benar-benar berada dalam kerugian.”

Menurut Yusuf al-Qardhawi dalam Al-Waqti Fi Hayati Muslim (1992: 2), apabila Allah bersumpah dengan sesuatu dari ciptaan-Nya, maka itu untuk menjadikan pandangan manusia tertuju kepadanya dan mengingatkan mereka akan manfaatnya yang besar dan pengaruhnya yang abadi.

Kita memiliki jatah waktu 24 jam yang terbagi dalam tiga katagori. Pertama, waktu lalu. Masa lalu merupakan bagian kehidupan yang pernah kita jalani. Bagian itu, merupakan mata rantai masa kini dan masa mendatang. Kehidupan masa lalu sebaiknya menjadi cermin dalam menentukan gerak langkah di masa depan. Sebab, kebaikan melangkah di masa depan tidak terlepas dari bijakan masa lalu.

Alquran menjelaskan, “…dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. 57: 16)

Seiring dengan itu, Allah telah mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam putaran waktu sehingga kita termasuk orang yang merugi (QS.103: 1-3).

Kedua, waktu kini. Kita sering merindukan masa depan yang sukses dan berhasil. Kerinduan ini sebenarnya hanya fatamorgana jika hari ini kita tidak berbuat banyak dalam menyongsong masa depan yang dirindukan itu. Alquran mengemukakan, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa dari kejahatannya) yang dikerjakannya…” (QS. 2:286)

Ayat ini menggambarkan, betapa masa depan kita sangat ditentukan oleh apa yang tengah diusahakan. Maka, jangan berharap banyak tentang masa depan jika kita tidak sungguh-sungguh menghadapinya.

Ketiga, waktu mendatang. Pada awal tulisan disebutkan, waktu adalah modal, dimana waktu lalu merupakan mata rantai dari masa kini dan masa mendatang. Ini melahirkan makna, bahwa waktu merupakan siklus yang saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Kondisi itu juga memberi gambaran, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok sebagaimana firman-Nya, “…dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok.” (QS. 31: 34). Dengan demikian, memanfaatkan setiap kebaikan dalam tataran waktu merupakan bagian penting dalam menjalani proses hidup ini.

Tiga tataran waktu yang kita miliki; waktu lalu, kini, dan mendatang harus menjadi pelengkap kebaikan. Bukan sebaliknya. Sebab, sebagaimana kita pahami siklus kehidupan terasa begitu cepat berubah. Kondisi ini, tentu menjadi pemicu agar kita tidak termasuk orang-orang yang lalai sebagaimana Alquran mensinyalir, ”Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. …Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. 57: 20)

Seiring dengan ungkapan di atas, Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra. mengemukakan,” Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak dihari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin kembali esok.”

Bermuara dari ungkapan di atas, kita pahami bahwa memanfaatkan waktu sebaik mungkin merupakan tugas utama kita. Mengabaikan waktu, melantarkannya, dan menganggap sepele terhadap nilai yang terkandung dalam waktu merupakan tanda-tanda kerugian yang nyata. Rasulullah saw. Bersabda, “Dua nikmat yang sering dan disia-siakan oleh banyak orang yaitu nikmat sehat dan kesempatan (waktu)” (HR. Bukhari)

Sebagai penutup, Malik bin Nabi dalam Syuruth An-Nahdhah pernah berujar, “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali dia berseru.”Putra putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.”

Kemudian Malik bin Nabi melanjutkan,”Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak dahulu kala, melintasi pulau, kota dan desa, membangkitkan semangat atau meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya walaupun segala sesuatu—selain Allah—tidak akan mampu melepaskan diri darinya.” (Encon Rahman)