Al-Halim, Allah yang Maha Penyantun
Saudaraku, asma Allah yang kita bahas kali ini, Al-Halim. Kalau kita baca, artinya Allah yang Maha Penyantun. Sebagaimana tercantum di Surah Al-Baqarah [2]: 235, “Ketahuilah Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah pada-Nya. Dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyantun.”
Al-Halim juga ada di Surah Al-Ahzab [33]: 51, “Dan Allah mengetahui apa yang tersimpan di hatimu. Dan Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” Tidak ada yang bisa bersembunyi dari Allah SWT. Allah tahu persis siapa diri kita, apa yang kita lakukan, yang kita pikirkan, dan lintasan hati kita.
Jadi, Allah tahu kita sombong. Allah tahu kita sedang dengki, sedang ujub, benci, suudzon. Allah tahu semua penyakit hati kita. Takutlah kepada Allah karena semua keburukan itu diketahui dan ada balasannya, tapi Allah tidak menyegerakan balasannya.
Jadi, makna Al-Halim itu Allah tahu kita bergelimang dosa, tetapi Allah menutupi aib dan dosa kita sehingga orang lain tidak mengetahui kebusukan kita. Bahkan orang-orang yang bermaksiat kepada Allah, yang kufur terhadap nikmat-Nya, tetap saja Allah urus. Orang-orang munafik, yang mendustakan, kafir, musyrik, tetap dikasih makan, kasih minum, pakaian, tempat berteduh. Semua karunia datang dari Allah.
Allah menutupi aib, dosa masa lalu, keburukan kita. Hikmah dari Al-Halim, yaitu Allah menutupinya tidak langsung membalas. Surah An-Nahl [16]: 61, “Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya di bumi dari makhluk melata sekali pun, Tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang telah ditentukan. Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” Jadi, Allah menyaksikan semua kemaksiatan kita.
Kalau kita yakin Allah Maha Mengetahui tentang diri kita, maka kita tidak akan terkecoh pujian orang, karena pujian orang tidak ada yang cocok. Pujian orang tidak membuat kita bangga. Kita tahu kita bau. Kalau ada orang yang menyebut kita harum, tapi karena tahu Allah mengetahui siapa diri kita, pujian itu tidak membuat bangga. Pun cacian tidak membuat terluka.
Kita bangga terhadap pujian karena tidak jujur melihat diri sendiri. Kita menikmati pujian orang karena tidak jujur melihat siapa diri. Harusnya pujian yang datang dari Allah ini membuat kita tobat, mumpung siksaan tidak disegerakan.
Kalau kita berani membuka dosa-dosa kita, kita malu. Tidak perlu kita membuka-buka yang Allah tutupi. Sudah ditutup oleh Allah, bukan untuk dibuka oleh kita. Ditutup itu untuk kita tobati. Jadi gunakan Maha Penyantun-Nya Allah, kesempatan besar untuk kita memperbaiki diri.
Kalau Allah ingin membalas, kalau setiap dosa Allah langsung membalas, satu dosa mengeluarkan satu belatung, sepeti apa mata kita? Kalau pikiran kita, setiap memikirkan dosa dibalas dengan satu belatung, seperti apa kepala kita ini? Belatung semua!
Kalau Allah ingin membuka, tidak bisa dicegah. Tidak ada yang bisa menghalangi. Kalau Allah ingin menghapuskan, tidak ada yang mencegah. Al-‘Afuw, Allah yang Maha Pemaaf itu seperti pohon yang dicabut sampai ke akar-akarnya, seperti jejak kaki di padang pasir, dihembus oleh angin, hilang. Yang Allah tutupi tidak bisa dibongkar oleh siapa pun. Yang Allah buka, tidak bisa ditutupi oleh siapa pun.
Makanya jangan mengorek-orek aib orang lain. Nanti aib kita dibuka. Jangan suka membuka aib orang lain. Kalau kita ngorek-orek aib orang, Allah tahu. Dibuka saja aib kita oleh Allah. Bisa kita kejungkel.
Nah, jangan suka membuka aib orang. Kita juga harus menjadi pemaaf. Untuk urusan pribadi mah, maafkan sajalah. Jangan cepat marah, bisi nanti Allah membalas kita. Datang orang-orang yang menyakiti kita, baik omongan, tulisan, atau sikap.
Allah SWT menutupi aib, mencukupi semuanya, tetap dikasih makan. Mata jelalatan, tetap bisa melihat, telinga dengar yang ngaco, tetap bisa mendengar. Mulut ngomong jelek, kalau Allah cepat membalas, ngerebek. Diurus saja terus oleh Allah.
Harusnya kita juga ke orang itu begitu. Kalau ingin diperlakukan layaknya Allah memaafkan kita, maka kita juga harus jadi pemaaf. Kita ambil pelajaran dari Surah Thaha [20]: 43-44, bagaimana sikap Allah kepada Firaun yang begitu dahsyat kezalimannya, bahkan menganggap dirinya tuhan. Lalu, Allah memeritahkan Nabi Musa, “Pergilah kamu berdua kepada Firaun, karena dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepada Firaun dengan kata-kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Allah memerintahkan Nabi Musa, padahal kalau Allah mau mah tinggal disambar petir. Firaun gosong. Selesai. Tapi Nabi Musa disuruh-Nya berkata dengan lemah lembut, dengan kata-kata yang baik. Nabi musa dipertemukan dengan orang yang angkuh, yang membuat kerusakan, tetap harus dengan akhlak yang baik. Nah, ini pelajaran bagi kita. (KH. Abdullah Gymnastiar)