Bahaya Riya’

Beruntunglah orang-orang yang tidak disiksa oleh kerinduan untuk dipuji dan dihormati manusia. Seseorang yang demikian akan sengsara karena terlalu banyak memikirkan penilaian orang lain terhadap dirinya. Jika perkara duniawi dan ukhrawi dilakukan hanya untuk mendapat pujian, penghormatan, dan penilaian manusia maka sesungguhnya kita telah diserang penyakit riya’’.

Allah Ta’ala berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰى ۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ ۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ﴿البقرة : ۲۶۴

Artinya:“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 264).

Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam salah satu hadisnya, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil. Para sahabat bertanya, “Apa syirik kecil itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya”. Kelak di hari kiamat ketika amalan manusia diberi balasan, Allah Azza wa Jalla akan mengatakan kepada mereka yang berbuat riya’, ‘Pergilah kepada orang yang kamu harapkan pujiannya sewaktu di dunia dan lihatlah apakah kamu mendapati pahala dari mereka?’” (HR. Ahmad).

Betapa orang yang riya’ itu sangatlah merugi. Selain sudah menyekutukan Allah, dia pun tak akan mendapat pahala atas apa yang telah dilakukan. Karena riya’ menghapuskan amal yang telah diperbuat.

Beralihnya tujuan kita dalam beramal dari tujuan mendapat rida Allah menjadi tujuan mendapat pujian manusia. Itulah yang menghanguskan amal-amal yang telah kita kerjakan. Misalnya saat seseorang mengumandangkan azan. Hatinya berharap calon mertua ada dan akan tergetar hatinya mendengar suara azan yang merdu, sehingga ia dinilai baik bagi anak gadisnya.

Tapi saat tahu bahwa calon mertuanya tidak berada di tempat maka ia menggerutu. Merasa bahwa azannya menjadi percuma. Padahal jika amalnya dilakukan dengan ikhlas, tak perlulah ia menyesal. Selain kita beramal, kita juga harus mati-matian menjaga niat. Bagaimana ciri orang yang tidak ikhlas atau riya’? Orang yang riya’ akan memungut sampah jika ada orang lain melihatnya dan berharap ia memujinya. Sedangkan jika tidak ada orang lain melihatnya, maka ia tidak akan tergugah sedikit pun untuk memungut sampah dan memindahkannya ke tempat yang semestinya.

Saat membaca al-Quran, seseorang yang riya’ akan membacanya perlahan dan tartil ketika ada orang lain di dekatnya. Dia berharap orang tersebut kagum kepadanya. Namun saat orang itu pergi, dia membacanya dengan biasa-biasa bahkan menghentikan bacaannya. Jika demikian kemahirannya dalam membaca al-Quran menjadi sia-sia di hadapan Allah Ta’ala.

Kunci dari semua ini adalah keikhlasan. Ikhlas itu berbanding lurus dengan tingkat keyakinan kita kepada Allah Ta’ala. Semakin yakin kita kepada Allah maka semakin yakin juga bahwa manusia hanyalah sarana sampainya nikmat. Rezeki dan ujian itu hakikatnya datang dari Allah. (KH. Abdullah Gymnastiar)