Dari Hanya Menata Alas Kaki Sampai ke Menata Hati, Budaya Daarut Tauhiid
DAARUTTAUHIID.ORG | BANDUNG — Lazimnya di banyak tempat ibadah, tumpukan sandal dan sepatu yang berserakan sering jadi pemandangan lumrah. Tapi tidak di Masjid Daarut Tauhiid, Gegerkalong, Bandung. Di sini, sepatu dan sandal bukan hanya benda lepas kaki. Mereka mencerminkan budaya, ketertiban, dan cerminan akhlak umat yang mencintai kerapian.
Ketika jemaah berdatangan untuk salat atau mengikuti kajian, mereka akan disambut dengan pemandangan yang unik. Deretan sandal dan sepatu yang tersusun rapi, berjajar seperti barisan prajurit. Tidak ada yang tercecer, tidak ada yang menutupi jalan, semuanya tertata di tempatnya. Sekilas tampak sepele, tapi dari kerapian itulah, budaya disiplin Daarut Tauhiid terpancar.
“Di Daarut Tauhiid, kami belajar bahwa hal kecil seperti meletakkan sandal dengan rapi itu bagian dari adab. Bukan cuma soal estetika, tapi ini tentang melatih hati untuk tertib dan menghargai hak orang lain,” ujar salah seorang relawan yang bertugas setiap hari di area depan masjid.
Relawan-relawan inilah yang diam-diam berperan besar menjaga tradisi ini tetap hidup. Mereka tak hanya memindahkan sandal yang berserakan, tapi juga mengedukasi dengan keteladanan. Bahkan saat jemaah belum sempat merapikan, mereka dengan sigap menatanya kembali tanpa keluhan.
“Kami percaya, menjaga kerapian sandal ini bagian dari upaya memuliakan masjid yang dibangun dari wakaf umat. Setiap tindakan yang tampak kecil, bila dilakukan dengan niat ikhlas, insya Allah menjadi jalan keberkahan,” lanjutnya dengan senyum tenang.
Budaya tersebut lahir dari prinsip hidup yang dipegang teguh oleh Daarut Tauhiid, dikenal dengan singkatan BEBASKOMIBA. Jika melihat sesuatu yang BERANTAKAN segera RAPIKAN, BASAH segera KERINGKAN, KOTOR segera BERSIHKAN, MIRING segera LURUSKAN, dan jika melihat BAHAYA segera AMANKAN.
Prinsip hidup ini diajarkan oleh KH Abdullah Gymnastiar untuk menumbuhkan inisiatif para santri agar peka melihat lingkungan sekitar. Bukan hanya tertulis di papan pengumuman, tapi hidup dalam laku harian—dimulai dari hal sederhana, seperti cara menaruh sandal.
Banyak jemaah yang datang dari luar kota pun dibuat kagum. Salah satunya, Hendra dari Tasikmalaya. Ia mengaku baru pertama kali melihat budaya seperti ini. “Saya datang ke sini karena ingin ikut kajian, tapi begitu masuk area masjid dan melihat sandal rapi begini, hati saya langsung adem. Kayaknya ini bukan cuma tempat belajar ilmu, tapi juga adab,” ujarnya.
Tak hanya itu, Hendra juga mengungkapkan kekagumannya pada bagaimana Masjid Daarut Tauhiid dikelola dari hasil wakaf umat secara profesional.
“Masjid ini luar biasa. Dari tempat wudunya, tata letak ruangannya, hingga program-program kajiannya terasa penuh keberkahan. Saya percaya, ini karena Daarut Tauhiid benar-benar mengoptimalkan potensi wakaf dari umat. Bukan hanya dibangun dengan wakaf, tapi juga dikelola untuk kebermanfaatan yang luas dan berkelanjutan,” tuturnya penuh kagum.
Tidak sedikit pula jemaah yang akhirnya ikut tergerak. Mereka mulai membiasakan diri merapikan sandalnya sendiri, bahkan menegur dengan santun jemaah lain yang mungkin lupa. Tanpa paksaan, budaya ini menyebar dan mengakar.
Bagi Daarut Tauhiid, keberkahan masjid bukan hanya dari kajian yang ramai atau fasilitas yang megah. Tapi dari nilai-nilai Islam yang dihidupkan dengan konsisten, bahkan dari hal sekecil menata sandal. Karena dari situlah, terbentuk pribadi yang lebih sadar, lebih bersih, dan lebih bertanggung jawab—baik kepada sesama, maupun kepada Allah.
Di Masjid Daarut Tauhiid, kerapian sandal bukan sekadar kebiasaan. Ia adalah cermin dari jiwa yang terlatih untuk mencintai keteraturan, menghormati rumah Allah, dan memuliakan sesama makhluk. Sebuah budaya kecil, tapi mengajarkan nilai yang sangat besar. (Cahya)
Redaktur: Wahid Ikhwan