Dari Indonesia untuk Gaza, Palestina

Terlahir dari keluarga yang sederhana, di sebuah kampung kecil, Galela, Halmahera Utara, Maluku Utara, Abdillah Onim bukanlah putra daerah biasa. Semangatnya untuk menempuh pendidikan yang lebih baik, membuatnya mantap ke luar kampung dan berjuang di Ibu Kota, Jakarta.

Memahami kondisi orangtuanya sebagai seorang buruh tani dan ibu rumah tangga biasa, ia berjuang sendiri membiayai pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Berbagai pekerjaan pun ia lakoni, dari mulai menjadi petugas cleaning service di sebuah kantor, berjualan popcorn, hingga akhirnya bekerja sama dengan sebuah perusahaan penyedia alat kesehatan dan ia menjualnya ke rumah sakit.

“Saya anak ke delapan dari delapan bersaudara. Di kampung saya, hanya saya putra daerah yang dapat menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Alhamdulillah atas izin Allah, saya lulus pada 2007,” ungkapnya saat silaturahim ke Pondok Pesantren Daarut Tauhiid (DT) Bandung, baru-baru ini.

Selain kuliah jurusan ekonomi dan perbankan, ia juga kursus Bahasa Arab dan bergabung dengan teman-teman yang suka halaqah. Ia juga aktif di bidang gawat darurat di sebuah yayasan yang dipimpin oleh Anis Matta.

Takdir Mengantarnya ke Palestina

Sejak 1999, ia sudah aktif di dunia kemanusiaan, seperti menolong saudara sebangsa dan setanah air yang tertimpa musibah. Sampai pada 2008, Israel melakukan agresi terhadap Gaza, Palestina. Hatinya terketuk, jiwanya pun terpanggil untuk berjuang membantu saudara sesama muslim di Palestina.

Ia kemudian mendaftar ke salah satu LSM yang memberangkatkan para relawan ke Gaza Palestina. “Tim pertama telah berangkat. Saya pun lulus masuk pemberangkatan tim kedua. Ketika diberi tahu lulus, saya langsung pucat. Tidak dipungkiri, ada perasaan takut mati juga. Tapi bismillah, saya ke sana niat karena Allah, bismillah saya mantap untuk berangkat,” ungkapnya.

Meminta izin kepada orangtua untuk berangkat ke Gaza, Palestina, bukanlah hal yang mudah. Berat bagi orangtua Bang Onim (sapaan akrabnya) untuk mengikhlaskan puteranya berjihad ke Palestina. Bahkan, orangtua Bang Onim sampai sakit memikirkan anaknya takut tak bisa kembali ke Indonesia, atau wafat di Palestina.

Mengetahui orangtuanya berat mengizinkan, ia pun  pulang kampung ke Galela, Halmahera Utara. Ia sampaikan kepada orangtuanya dengan kalimat yang santun tentang makna perjuangan menolong sesama muslim.

Merasakan Dinginnya Penjara Israel

Sekembalinya ke Indonesia, Ia ditugaskan kembali ke Palestina bersama sebelas orang relawan asal Indonesia. Ia kemudian tergabung dengan relawan dari 26 negara dan berangkat menggunakan kapal Mavi Malmara Turki.

Di tengah perjalanan, kapal yang membawa dirinya dan berbagai bantuan untuk Palestina dihadang oleh tentara Israel.

“Kami ditembaki, dikepung, bahkan ada sembilan orang relawan asal Turki yang tewas di tempat. Lebih dari 50 orang relawan termasuk saya luka-luka, kemudian diikat, dan dijebloskan ke dalam penjara Israel,” katanya, sambil matanya menerawang mengingat kejadian tersebut.

Di dalam dinginnya penjara Israel, Ia diberi makanan yang ternyata telah diracuni oleh militer Israel. “Ketahuannya ketika saya dibebaskan, kemudian periksa darah di Yordania. Di sana baru ketahuan, bahwa saya memakan makanan yang telah diracuni selama berada di penjara. Kata dokter, racunnya itu akan membuat saya hilang ingatan terhadap tragedi Kapal Malmara itu,” jelasnya.

Tidak gentar dengan peristiwa pahit yang baru dialami, tekadnya tetap kuat untuk membantu saudara muslim di Palestina. Ia dan relawan lainnya berangkat dan berhasil masuk melalui Pintu Raffah di Mesir, pada 30 Mei 2010.

“Mulai saat itulah saya memulai hidup baru di Gaza. Menjadi penyambung bantuan yang diberikan rakyat Indonesia, termasuk para donatur Dompet Peduli Ummat (DPU) Daarut Tauhiid (DT),” ujarnya.

Menyembah Tuhan yang Sama

Menurutnya, niatnya ke Palestina murni untuk membantu saudara muslim di sana, serta menjadi jurnalis yang memberikan info terkini seputar Gaza, Palestina kepada dunia, khususnya kepada masyarakat Republik Indonesia. Tak pernah terbersit dalam hatinya, ia ke sana untuk menikahi muslimah Palestina.

Takdir berkata lain. Kondisi Palestina yang diblokade pada 2010 juga membuatnya mantap untuk menikah dengan muslimah Palestina dan berumah tangga di sana.

Setelah berusaha berkomunikasi dengan keluarga di Indonesia, akhirnya mereka mengizinkan. Ia pun memulai ikhtiarnya mencari muslimah yang berkenan menikah dengannya dan menjadi pendamping dirinya dalam berjuang.

Tapi, perkara mendapatkan pasangan hidup yang tepat tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ikhtiar dan doa yang sungguh-sungguh itu pun mendapatkan beragam ujian. Enam muslimah asal Gaza yang coba ia lamar tak ada satu pun diantara mereka yang berkenan menjadi istrinya.

“Alasannya macam-macam. Mulai dari akan menetap di mana setelah menikah, hingga penghasilan saya yang saat itu hanya 100 dollar, sementara standar UMR Gaza itu 600 sampai 700 dollar,” ungkapnya.

Di tengah kesedihan dan nyaris putus asa tak ada yang berkenan dinikahi olehnya, Allah pun memberikan pertolongan melalui cara yang tak pernah ia duga. Seorang kawan memberitahu kepadanya, ada seorang muslimah asal Gaza Utara yang berkenan dinikahi olehnya. Ia pun diminta menghadap orangtua dan keluarga besarnya.

Saat itu, sang calon ibu mertua mengajukan beberapa pertanyaan padanya. “Kamu salat? Saya jawab, iya saya salat. Lalu, ibu bertanya lagi, berjamaah? Saya jawab iya. Kamu akan bertanggung jawab terhadap putri saya? Saya jawab iya. Lalu, calon ibu mertua saya menyampaikan, tidak ada yang memberatkan antara Arab dan Non Arab. Selama satu iman, menyembah Tuhan yang sama yaitu Allah SWT, putri saya berkenan dinikahkan,” jelasnya sambil berkaca-kaca menahan haru.

Kini, ia dan istrinya yang bernama Rajaa, telah dikaruniai dua buah hati. Putri pertama diberi nama Filind yang berarti (Filistine / palestina Indonesia), dan putera kedua diberi nama Nusantara. Istrinya saat ini juga sedang mengandung buah hati ketiga mereka.

Silaturahim ke Indonesia

Agenda silaturahim ke Indonesia telah ia agendakan jauh-jauh hari. Walau tidak mudah keluar dari Gaza, ia dan keluarganya berhasil ke luar. Tujuannya silaturahim ke Indonesia, tentu untuk bertemu keluarga besarnya di Halmahera Utara. Ia ingin mempertemukan istri dan anak-anaknya kepada orangtua dan keluarga besar di sana.

Selain itu, ia juga bersilaturahim dengan berbagai lembaga pemerintahan RI dan lembaga-lembaga yang menitipkan bantuan untuk Palestina melalui dirinya. Salah satu lembaga yang ia kunjungi ialah DPU DT. Ia juga sempat mengisi Kajian MQ Pagi bersama KH. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) di Masjid DT Bandung.

Ikhlas Beramal karena Allah SWT

Menurutnya, sebanyak apa pun amal ibadah, jika niatnya bukan karena Allah SWT, tentu akan sia-sia. Maka, meluruskan niat karena Allah, ini adalah poin utama sebelum beramal. Selanjutnya, ikhlaskan setiap amal yang sudah diberikan, jangan diingat-ingat,  dan jangan meminta balasan dari makhluk.

“Bang Onim bisa hidup di sana atas izin Allah dan keberkahan bumi Palestinna. Ketika kita membela agama Allah, kita ditolong oleh Allah. Selama di sana, rezeki mengalir terus. Saya juga dapat berzakat, infak, sedekah, hingga kurban, Alhamdulillah,” katanya.

Terkait serangan Israel yang seringkali terjadi, bahkan beberapa kali roket hampir mengenai dirinya dan rumahnya, namun Allah SWT selalu punya cara untuk menyelamatkannya. “Masya Allah, ini semua karena pertolongan Allah dan doa dari saudara semua. Terima Kasih,” pungkasnya. (Cristy Az-Zahra)