Ilmu tentang Rezeki

Kesempatan beramal adalah saat kita masih hidup. Kalau sudah meninggal, maka selesailah kesempatan beramal itu. Saudaraku, seperti yang kita pahami bahwa rezeki itu dibagi tiga. Pertama adalah makanan yang masuk tubuh hingga terbuang sebagai sisa metabolisme. Kedua adalah sandang pakaian yang dikenakan hingga usang. Ketiga ialah segala sesuatu yang dinafkahkan di jalan Allah. Selebihnya belum tentu menjadi rezeki kita sepenuhnya. Semuanya berupa amanah dari Allah SWT.

Kalau kita renungkan, semenjak janin ternyata rezeki kita sudah ada. Padahal saat itu kita belum mampu berpikir, belum tahu apa-apa, belum bisa berdoa juga. Tetapi rezeki kita sudah datang dan mencukupi segala kebutuhan diri. Terlebih jalan rezeki itu juga sudah disiapkan. Misalnya saat kita masih dalam kandungan ibu, plasenta ibu menjadi jalan rezeki kita. Walaupun makanan ibu beraneka rupa, tapi mekanisme rezeki yang Allah siapkan menjadikannya aman bagi bayi dalam kandungan.

Bukankah bayi manusia itu merupakan bayi paling lemah? Bandingkan dengan kera misalnya, yang beberapa saat setelah hadir ke dunia telah bisa memanjat pohon. Atau kuda yang sedari brojol telah mampu belajar berlari. Sedangkan bayi manusia butuh setidaknya waktu sebelas bulan agar lancar berjalan. Tetapi rezeki itu tetap ada, betapa pun lemahnya kita sebagai bayi manusia.

Saat gigi bayi belum tumbuh, dibuatlah jalan rezekinya lewat air susu ibu. Walaupun belum mampu mengunyah, tetapi kebutuhan gizinya tetap terpenuhi. Maka bagi orang yang ingin yakin akan jaminan Allah, harus melihat seberapa banyak Allah telah menjamin rezeki kita. Seperti yang disampaikan oleh Imam Ibnu Athailah bahwa jika seorang muslim ingin teguh keyakinan atas jaminan rahmat Allah, maka dia harus mampu menafakuri apa yang selama ini telah kita terima dari-Nya.

Oleh karena itu, pada hakikatnya rezeki bukanlah sesuatu yang harus kita berat pikirkan. Bahkan jika seorang ibu belum mampu mengeluarkan air susu, jalan rezeki bayinya tidak akan menjadi buntu. Bisa jadi lewat ibu persusuan atau susu sapi yang dikemas sedemikian rupa sehingga aman dikonsumsi oleh bayi. Rezeki itulah yang mendatangi pemiliknya. Jika pun bayi itu ada di sini, dan misalnya air susu itu berasal dari sapi di Selandia Baru, maka jalan rezeki yang akan mempertemukan dua wilayah yang jauh itu.

Maka jangan takut tidak punya rezeki, tapi takutlah jika jalan rezeki itu kita kotori, sehingga rezeki itu menjadi tidak berkah. Rezeki itu jangan dicari seakan-akan tidak ada, tapi jemput dengan sebaik-baiknya ikhtiar. Rezeki yang tidak berkah adalah siksaan.

Ada pun ciri rezeki yang tidak berkah, pertama adalah terasa ruwet. Tidak bisa dinikmati dan justru menjadi beban pikiran. Tidur menjadi susah, makan tidak lezat, karena memikirkannya. Rezeki yang ada itu malah menjadi semacam belitan masalah tak putus-putus.

Ciri kedua adalah merasa miskin dengan rezeki tersebut. Tidak pernah merasa puas. Tidak pernah merasa cukup, perasaan selalu kurang. Walaupun sudah punya tapi tidak ada perasaan syukur, sehingga ingin keuntungan yang lebih besar. Pikiran selalu merujuk sesuatu yang belum ada, dan melupakan yang sudah ada.

Ketiga, ciri rezeki yang tidak berkah adalah membawa masalah. Banyaknya rezeki itu tidak membuat pemilik lebih dekat dengan Allah. Berbeda dengan rezeki yang berkah akan membawa pemiliknya semakin taat. Semakin merasa kaya hatinya.

Kaya dalam hati merupakan yang paling nikmat. Sebab orang yang telah ghina fii qalbi akan merasa lebih aman dan nyaman dengan jaminan Allah. Bukan dengan jaminan yang ada pada genggamannya. Sebab jika begitu, dia telah menggantungkan dirinya pada jaminan dan janji Allah—Dzat yang mengatur seluruh urusan makhluk di alam semesta tanpa pernah luput sekejap mata pun.

Jangan takut tidak punya rezeki, tapi takut jika tidak punya syukur saat rezeki itu telah hadir. Tidak adanya rasa syukur yang membuat hamba merasa jumawa. Seakan-akan rezeki itu datang sepenuhnya berkat usahanya. Tanpa rasa syukur sebesar apa pun rezeki akan terasa hambar.

Jangan takut tidak punya rezeki, tapi takut jika tidak punya sabar saat rezeki itu berkurang. Tidak adanya sabar membuat seorang hamba merasa berat dan kadang berputus asa atas jaminan Allah. Yakinkan diri bahwa sebelum ajal menjemput, rezeki yang telah ditakdirkan itu tidak akan meleset dan akan mencukupi segala kebutuhan.

Jangan takut tidak punya rezeki, tapi takut jika tidak punya ikhlas dan rida saat rezeki itu diambil. Jangan sebut musibah pada kehilangan yang bukan milik kita. Sebagaimana juru parkir, tidak merasa kehilangan saat mobil yang ia parkirkan pergi. Justru musibah saat seorang hamba tidak rida dan ikhlas atas takdir yang telah Allah tentukan. Jika seorang hamba telah rida dan ikhlas dengan segala ketentuan Allah, termasuk perkara rezeki, maka hidupnya akan terasa lapang dan damai.

(MQ Pagi; Kamis, 10 September 2020)