Kan’an: Berlindung pada (Keterbatasan) Logika

Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” Nuh berkata: “Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. (QS. Hud [11]: 43)

Nabi Nuh meyakinkan umatnya bahwa ia tidak memiliki motif duniawi saat menyeru. Pun tidak menjanjikan jaminan duniawi, sehingga umatnya bisa mendapatkan rezeki tanpa bekerja keras. Nabi Nuh hanya menyampaikan dan menjanjikan apa yang Allah tuntunkan melalui wahyu-Nya, yaitu 90 suhuf yang diberikan kepada tiga nabi sebelumnya (Nabi Adam, Syits, dan Idris).

Nasihat wahyu yang didengar berulang-ulang seperti ini, mereka anggap cerita klasik dan mengambang. Seharusnya (menurut persepsi mereka), Nabi Nuh bisa meminta kepada Allah apa pun yang umatnya inginkan. Bukankah Allah sedemikian berkuasa dan Nabi Nuh adalah utusan-Nya?

Logika mereka tidak menerima. Menurut nalar ilmiahnya, Allah semestinya ringan memberikan apa pun yang hamba-Nya inginkan. Namun yang mereka dapatkan hanyalah nasihat-nasihat Nabi Nuh. Penjelasan yang tidak berubah (move on), apalagi berkembang (move up), kata mereka. Mereka pun beralih sikap tidak mempercayai Nabi Nuh, dan mencari penggantinya yaitu berhala.

Awal mulanya, berhala dinisbatkan kepada orang-orang saleh yang telah meninggal sebelum mereka. Ajaran orang-orang saleh ini mereka pegang, dan mereka tafsirkan dengan logikanya sendiri. Manakala Nabi Nuh menyampaikan nasihat kebenaran, mereka selalu membantah. Mereka mengatakan Nabi Nuh mengada-ada, sehingga mereka lebih senang menjalankan amal atas paradigma logikanya sendiri.

Allah berkehendak mengajarkan logika harus tunduk di bawah iman. Maka, Allah berfirman kepada Nabi Nuh untuk membuat bahtera di tengah padang pasir yang gersang. Tentunya tidak ada yang bisa mengerti, seandainya terjadi banjir besar di padang pasir yang kering itu. Perintah yang tegas dan hendak membuka mata iman. Apakah logika atau iman yang benar?

Perintah itu pun Nabi Nuh lakukan. Setiap umat Nabi Nuh lewat, mereka mengejek dan mengatakan Nabi Nuh telah gila. Semakin hari ejekannya semakin lantang.

Selama waktu yang sudah Allah tentukan, padang pasir pun mulai memancarkan air. Semakin lama semakin banyak. Umat Nabi Nuh terkaget-kaget, mengetahui ada air yang keluar begitu deras. Namun, logika mereka belum mau mereka hadapkan kepada kenyataan yang ada.

Mereka pun mencari tempat tinggi untuk menghindari air yang sudah berubah menjadi banjir bah. Mereka tetap mencari tempat yang lebih tinggi, terpilihlah sebuah gunung. Menurut nalar mereka, belum ada ceritanya air bisa melampaui ketinggian gunung. Sehingga, tidak terbersit sedikit pun di akal mereka, jika air bah itu adalah jawaban atas azab yang selama ini sering mereka minta kepada Nabi Nuh. Mereka pun meninggal dalam keingkaran.

Salah satu dari mereka yang mendapatkan azab adalah anaknya Nabi Nuh yang bernama Kan’an. Di saat ketinggian air hampir menuju puncak gunung, Nabi Nuh memanggil Kan’an yang terus saja berjalan menuju puncak. Kan’an tetap bersikeras menolak ajakan Nabi Nuh, karena yakin dengan logikanya walau azab sudah di depan mata. Masya Allah, sedemikian kuatnya dia memegang teguh kebatilan.

Betapa sedihnya Nabi Nuh. Buah hatinya terlihat tidak berdaya, namun tidak mau menerima pertolongan-Nya. Nabi Nuh sadar, perkara ghaib yang ia yakini memang tidak bisa dirasakan orang lain, kecuali yang mendahulukan iman di atas akalnya.

Sebait doa pun Nabi Nuh sampaikan sebagai wujud kasih sayang terakhir terhadap Kan’an. Allah lantas menjawab doa Nabi Nuh dengan menyampaikan Kan’an tidaklah Allah masukkan ke dalam golongannya. Nabi Nuh lalu menyerahkan semua kejadian ini kepada Allah Yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Wallahu a’lam. (Oleh: Ust. Edu, sumber foto : deviantart.com/kamalphotography/art/Banjir)