Memahami Makna Kematian

Masalah kematian menuntut banyak jawaban, mengingat kematian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Tiap orang, bahkan yang tak beragama pun percaya adanya kematian. Masalahnya, kematian datangnya tak terduga. Kematian atau ajal datang tanpa dapat diketahui kapan dan di mana ia akan datang. Inilah rahasia yang misterius. Karena itu kematian selalu diidentikkan dengan tragedi, musibah. Kematian tak hanya mengundang kesedihan bagi yang ditinggalkan. Juga bagi kita, calon mayat yang akan mengalami peristiwa sakratulmaut.

Menurut ulama sufi Imam Al Ghazali, sakratulmaut merupakan ungkapan mengenai rasa sakit yang luar biasa yang menusuk inti jiwa, yang rasa sakitnya tak tertahankan. Bagaimana dan sesakit apakah? Tak ada yang mampu menjawab dengan pasti, kecuali orang yang sudah merasakannya. Masalahnya apakah mereka yang mengalami kematian ini masih bisa bercerita?

Bagi Al Ghazali, rasa sakit ketika sakratulmaut datang bisa diketahui dengan mengamati orang lain yang sedang berada dalam keadaan sakratulmaut. Rasa sakit selama sakratulmaut yang menghujam jiwa dan menyebar ke seluruh anggota badan. Bahkan maut, kata Al-Ghazali, sakitnya lebih dari tusukan pedang, gesekan gergaji, atau sayatan gunting dan benda tajam lainnyua. Hal ini terbukti ketika sakaratulmaut dan ketika itu kematian langsung melumpuhkan akal, membungkam lidah, dan melemahkan semua anggota badan.

Seorang pakar komunikasi, Prof.Dr.H.Jalaluddin Rakhmat, M Sc. dalam sebuah ceramahnya menyatakan, tak ada cara untuk lepas dari rasa sakit itu. Meskipun sesorang itu beramal banyak, tetap tak bisa menandingi pedihnya sakratulmaut. Bahkan manusia yang dimuliakan Allah seperti sNabi Musa, Nabi Yahya, dan Nabi Muhammad SAW juga tidak luput dari rasa sakit saat sakratulmaut menjemputnya.

Mengenai hal ini, Jalaluddin Rakhmat bercerita bagaimana Nabi Musa “bernegosiasi” dengan malaikat Izrail yang akan mencabut nyawanya. Hasilnya, Nabi Musa menghembuskan napas terakhirnya setelah Izrail memberikan jeruk yang harum untuk dihirupnya. Ini cara kematian yang dianggap paling tak menyakitkan. Ketika Nabi Musa ditanya para malaikat tentang kematiaannya yang paling ringan itu? Nabi Musa menjawab, “Kasyatin tuslakhu wa hiya hayyatan. Sakitnya sakratulmaut itu seperti kambing yang dikuliti hidup-hidup.”

Rasa sakit sakaratulmaut pun dirasakan Nabi Yahya, ketika Nabi Yahya yang atas izin Allah dibangunkan Nabi Isa dari kuburnya. Yahya berkata, ‘Saya sudah puluhan tahun mati, tapi kepedihan kematian itu masih terasa.’

Dari beberapa hadis, diungkapkan betapa sulit roh meninggalkan tubuh orang-orang kafir, tapi bagi mukminin tak demikian. Bagi orang kafir, sakratulmaut diibaratkan seperti mencabut bulu-bulu domba dengan sisir. Sedangkan bagi mukminin, nyawa yang lepas dari raganya diibaratkan seperti air keluar dari cerek.

Inilah fakta tentang kematian. Sebuah ketentuan ilahi yang tak bisa kita tolak. Makhluk harus tunduk pada Khalik. Sebab ia adalah penentu waktu, ruang, dan jatah hidup makhluknya. Karena ini adalah takdir, maka tak ada seorang manusia pun bisa menolaknnya. Tak ada ceritanya manusia bisa menolak dan menghindar dari kematian.

Lalu kenapa kematian selalu ditakutkan hampir seluruh umat manusia? Sebabnya karena kematian seringkali diidentikan dengan penghabisan, ketiadaan, dan kesirnaan. Terlebih bagi yang cinta dunia, yang selalu mengumpulkan harta dan menganggap dengan itu akan hidup selamanya.

Pemahaman inilah yang mesti dihilangkan dibenak kita. Yakni dengan memahamkan pada diri sendiri, bahwa kematian merupakan suatu perpindahan dari satu alam ke alam lainnya, yang juga sebagai fase menuju pertemuannya dengan Allah SWT. Andaikata semua manusia paham akan makna kematian ini, niscaya akan menyambut tibanya kematian dengan bahagia. Buktinya, para sahabat Rasulullah SAW sangat antusias menyambut ajakan jihad di medan perang melawan kaum kafir dan musuh-musuh Islam—karena tahu itu akan berbuah kemaslahatan umat dan mengantarkannya ke surga.

Karena itu, sangat tak logis bila umat Islam takut mati. Kematian tak perlu ditakuti, sebab mati hanyalah jembatan yang menghubungkan ruh kita ke haribaan Allah SWT. Kematian ditakuti biasanya dikarenakan mempunyai beban dan rasa kepemilikan atas dunia dan perhiasannya yang berlebihan, sehingga takut bila hilang atau beralih kepemilikannya. Gejala ini dalam term Islam disebut hubuddunya (cinta dunia) dan al-wahn (takut mati), yang sering mengidap pada mereka yang hidupnya bermewah-mewahan, hidup glamor, memiliki kekuasaan, dan yang menyepelekan kepedulian terhadap mustadhafin.

Kita sebagai umat Islam tak perlu takut mati. Sebab kematian adalah fakta sekaligus takdir Ilahi yang tak bisa dibantah dan diundurkan siapa pun di dunia. Kematian datang tak diundang, pulang tak disuruh. Setiap yang hidup pasti akan sampai pada fase kematian dan pasti diminta pertanggunganjawab atas semua aktivitas dan kehidupannya di dunia di mahkamah Allah SWT.

Karena itu, sudah sepatutnya kita semua meningkatkan ibadah dan keistiqomahan dalam berbakti atau mengabdi kepada Allah SWT dengan setulus-tulusnya. Berupayalah untuk mengurangi kesalahan dan dosa, serta iringi kehidupan ini dengan dzikrullah dan muhasabah. (Ahmad Sahidin)