Mengukir Senyum di Bumi Syam

Syam atau Negeri Syam merupakan salah satu tempat istimewa di dunia, karena Negeri Syam merupakan tempat dari agama samawi yaitu Yudaisme, Nasrani, dan Islam. Syam juga telah memiliki tempat tersendiri di hati setiap muslim, karena di negeri inilah para nabi dan Rasul lahir. Bahkan, tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad juga ditemukan di salah satu kota di Syam, yakni Bashar.

Syam merupakan suatu daerah yang terletak di timur Laut Mediterania, barat Sungai Efrat, utara Gurun Arab dan sebelah selatan Pegunungan Taurus. Negeri Syam meliputi empat negara, yaitu Suriah yang merupakan pusat negeri Syam, Palestina sebagai kiblat pertama kaum muslimin, Lebanon, dan Yordania.  Syam juga dikenal sebagai daerah yang memiliki keistimewaan-keistimewaan. Keistimewaan tersebut diabadikan dalam teks-teks al-Quran dan hadits. Syam juga disebut sebagai negeri akhir zaman dan juga dikenal sebagai Negeri yang Diberkahi.

Negeri Syam disebut sebagai negeri akhir zaman karena pada akhir zaman nanti negeri Syam akan kembali menjadi titik peristiwa penting seperti yang Rasulullah kabarkan. Manaratul baidha’ atau menara putih di salah satu masjid agung di Damaskus akan menjadi tempat turunnya kembali Nabi Isa alahis salam. Ia akan membunuh Dajjal di pintu Ludd. Itu semua akan terjadi di Negeri Syam. Tidak ada benteng yang aman dari fitnah akhir zaman, kecuali di negeri Syam. Oleh sebab itu, negeri Syam disebut sebagai Negeri Akhir Zaman.

Rasulullah bersabda, “Isa putra Maryam turun di sebelah timur Damaskus di menara putih dengan mengenakan dua baju (yang dicelup wars dan za’faran) seraya meletakkan kedua tangannya di atas sayap dua malaikat, bila ia menundukkan kepala, air pun menetas. Bila ia mengangkat kepala, air pun bercucuran seperti mutiara”. (HR. Muslim no. 2937).

Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda: “Dajjal akan keluar di tengah Yahudi Asfahan hingga mencapai Madinah, ia singgah di perbatasannya, saat itu Madinah memiliki 7 pintu pada tiap pintu dijaga oleh 2 malaikat, maka penduduk Madinah yang jahat bergabung dengan Dajjal, hingga bila mereka mencapai pintu Ludd, Isa as turun lalu membunuhnya, dan sesudah itu Isa as hidup di dunia 40 tahun sebagai pemimpin yang adil dan hakim yang bijak.” (HR. Imam Ahmad)

Anak-anak Negeri Syam Kini
Bumiku yang merdeka telah dirampas

Bumiku sudah tidak bernilai seperti diri juga tidak bernilai

Pulangkanlah kepada kami keamanan

Dan berikanlah kepada kami hak anak

Berikanlah, berikanlah, berikanlah, kepada kami keamanan

 

Sepenggal lirik lagu berjudul “A’Thuna al Thoufuli” atau “Pulangkan Masa Kecil Kami” ini dinyanyikan bocah asal Suriah dalam ajang pencarian bakat pada 2015. Di menit pertama, bocah bernama Ghina ini telah menarik simpati para juri. Tak kuasa menahan kesedihan, Ghina pun mengangis di tengah lagunya. Juri dan para penonton pun ikut terharu bahkan menangis.

Kesedihan yang dirasakan Ghina dan anak-anak Suriah lainnya sangat terasa dalam lirik lagu tersebut. Lirik lagu ini seolah mewakili jutaan anak-anak dari Bumi Syam yang memiliki nasib yang serupa, terusir dari rumahnya, menjadi korban kekerasan, dan kehilangan keluarganya.

Perang berkepanjangan yang terjadi di Negeri Syam, khususnya di Suriah dan Palestina menyisakan derita bagi warganya. Untuk menyelamatkan diri, jutaan warga sipil terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Negara-negara tetangga pun rela mereka sambangi demi menyelamatkan diri dari perang yang entah kapan berhenti.

Lautan luas, gelombang tinggi, padang tandus, pagar berduri, dan jalanan berbahaya lainnya tak mereka hiraukan demi mendapatkan hidup yang lebih baik. Cara apapun, akan mereka lalui agar dapat hidup tenang dan selamat, termasuk pergi dari tanah kelahiran yang mereka cintai.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melaporkan, lebih dari 70 ribu keluarga tidak berayah dan hampir 40 ribu anak terpisah dari keluarga mereka. Sebagian pengungsi tinggal di tenda-tenda pengungsi yang disediakan pemerintah dan sebagiannya lagi tersebar di beberapa tempat, rumah-rumah penduduk misalnya.

Setelah menemukan tempat untuk mengungsi, para pengungsi yang terus bertambah jumlahnya ini kembali menemukan masalah baru. Di pengungsian, mereka hidup dalam garis kemiskinan. Sebagian mereka berpencar mencari pekerjaan, dan sebagiannya hanya bisa menerima bantuan karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk mereka bekerja.

Aisyah, salah seorang pengungsi asal Suriah ini terpaksa mengungsi dari tanah kelahirannya karena sudah tidak kuat berada di bawah tekanan perang. Aisyah tak sendiri, ia pergi mengungsi bersama putranya yang bernama Muhammad, yang masih berusia kisaran 7-8 tahunan. Saat itu, Muhammad memiliki gangguan kesehatan dan selama berada di pengungsian, kondisinya tidak membaik.

Konflik yang terjadi membuat Muhammad sangat takut dengan orang asing. Karenanya, Aisyah terpaksa mengikat Muhammad dengan tali yang dihubungkan antara pinggang dan tendanya agar Muhammad tetap tenang dan tidak pergi ke mana-mana.

Dekat dengan Surga

Hingga saat ini, Suriah masih mencekam. Hujan bom bisa datang kapan saja dan para pengungsi masih enggan kembali ke tanah kelahirannya itu. Terpaksa, mereka akan tetap tinggal di tempat lain hingga situasi benar-benar aman dan kondusif.

Di tenda-tenda pengungsi, ibu-ibu asal Suriah dan Palestina ini terus menanamkan ke hati anak-anaknya tentang surga. Seluruh aktivitas, mereka upayakan dapat menjadi tiket ke surganya Allah. Sejak dini, mereka dipahamkan dan dipersiapkan untuk menjadi generasi dan pasukan-pasukan terbaik di akhir zaman nanti.

Meski berada dalam kondisi memprihatinkan, rupanya merekalah orang-orang yang beruntung, sesuai dengan yang disabdakan Rasulullah Saw.

Beruntunglah negeri Syam. Sahabat bertanya: mengapa ? Jawab Nabi saw: Malaikat rahmat membentangkan sayapnya di atas negeri Syam,” (HR. Imam Ahmad)

Keimanan para pengungsi Suriah dan Palestina memang tak diragukan lagi. Sejak kecil, mereka dididik untuk mengenal Allah dan tak gentar dengan musuh-musuh Allah, meski berbagai ujian menderanya. Semakin banyak ujian, maka semakin kuat keimanan mereka.

Apa yang Harus Dilakukan?

Kemanusiaan jangkauannya sungguh luas, karena tidak memandang suku, agama, ras dan tidak ada batasannya. Meski di negeri yang nun jauh di sana, ketika ada yang sangat memerlukan bantuan, maka wajib bagi Muslim untuk membantunya.

Untuk saat ini, saudara-saudara kita di Bumi Syam sangat memerlukan bantuan dari saudara-saudara di berbagai belahan dunia lainnya. Mengapa membutuhkan bantuan dari negara lain? karena negaranya sendiri saat ini masih belum bisa membantu secara maksimal karena perang yang belum usai.

Karenanya, selain membantu saudara-saudara dekat, Muslim juga diwajibkan untuk membantu saudara-saudaranya yang jauh. Tak cukup simpati, saudara di Bumi Syam pun butuh empati dalam bentuk apapun, bisa bantuan berupa tenaga, harta, atau doa.

Konflik yang terjadi di Bumi Syam tak hanya menjadi ujian bagi para penduduknya, melainkan sebagai ujian bagi seluruh Muslim di dunia untuk mengukur sejauh mana kepekaan hati dan kepeduliannya.

(Astri Rahmayanti/Berbagai Sumber)