Menjadi Guru Lewat Tulisan

“Buku adalah guru yang tak pernah marah”. Itulah lontaran kata orang-orang bijak. Namun, seberapa banyak orang yang mau jadi guru tanpa pernah marah kepada muridnya? Tulisan ini mencoba menggambarkan urgensi tulisan dari sudut pandang transformasi ilmu pengetahuan.

Kita sering melontarkan kata “dia itu guru”. Tapi, mungkin sebagian ada yang belum paham akan definisi dan esensi dari guru tersebut. Secara umum guru adalah sesuatu yang memberikan tambahan pengetahuan, keterampilan serta mengubah lebih baik diri kita. Ini diungkapkan, sebab tidak selalu guru tersebut meski dalam bentuk orang langsung. Namun, pandangan umum guru adalah seseorang yang mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan atau yang membimbing perjalanan hidup dan bertatap langsung dengan kita.

Guru bukanlah hal yang biasa. Islam menilai ia memiliki kemulian yang sangat besar. Bahkan dalam kitab ta’lim muta’alim menjelaskan betapa harus memuliakannya seorang murid terhadap guru. Karena ilmu yang telah diberikannya menjadi cahaya lampu kehidupan kita. Selain itu nilai pahala yang diberikan bagi guru sangat besar dan tidak pernah putus walau ia sudah meninggal. Ilmu yang bermanfaat dan menjadi penerang bagi mereka akan berbuah pahala yang terus mengalir. Ini dijelaskan dalam sebuah hadis nabi. Nabi bersabda, “Bila telah mati anak Adam, putuslah amalnya, kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh yang mendoakan kepadanya.”

Menjadi guru secara langsung mungkin tidak semua orang bisa. Latar belakang pendidikan, keahlian dalam menyampaikan ide secara lisan, teknik keguruan dan hal-hal lainnya menjadi menjadi hambatan bagi sebagian orang. Namun, akankah kita menyerah begitu saja setelah melihat hambatan tersebut? Padahal, begitu besar nilai dan makna bagi seorang guru.

Jangan khawatir. Jadi guru tidak mesti datang langsung ke tempat murid-murid belajar. Tidak selamanya mesti menyampaikan ilmu pengetahuan secara lisan. Bagi mereka yang punya kemampuan menulis dan menyampaikan ilmu lewat tulisan merupakan peluang besar. Bukankah ulama-ulama terdahulu telah menjadi guru bagi kita semua, padahal kita tak pernah tahu dan bertemu dengan mereka. Karya-karyanya yang gemilang dan tersusun secara rapi kemudian diperbanyak serta jadi rujukan banyak orang, mereka telah menjadi guru bagi kita semua. Bukankah pepatah mengatakan buku adalah guru yang tak pernah marah. Berarti tidak selalu kita menajdi guru yang formal, berpakaian seragam guru, menenteng tas dan berangkat ke ruang kelas.

Menjadi guru lewat tulisan tak mengenal batas. Ilmu-ilmu yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan dapat ada sepanjang mereka membutuhkan dan menjaganya. Tulisan tak mengenal mati, tulisan tak mengenal pensiun, tulisan tak mengenal tempat. Menjadi guru di suatu sekolah belum tentu dapat menyampaikan ilmu di tempat lain. Tetapi jika ilmu kita tertulis di mana pun dan kapan pun, kita akan menjadi guru bagi mereka yang mempelajari ilmu yang telah kita tuangkan.

Memang jika kita jadi guru dari karya-karya pengetahuan, kita tidak punya murid secara langsung. Tidak ada keberlangsungan dan kebersamaan dengan murid-murid kita. Murid banyak namun tidak bisa tampak sebagaimana biasanya. Secara materil peluangnya besar pula, bahkan mungkin bisa lebih dari seorang guru formal yang setiap pagi berangkat ke kelas dan siang pulang lagi ke rumah. Bagi ia yang sering menuangkan karyanya lewat tulisan bisa menjadi kaya. Berbagai media masa memberikan imbalan materi yang menjanjikan bagi tulisan-tulisan yang dimuat. Pertanyaan selanjutnya bagamana agar kita bisa menulis?

Kunci Menjadi Penulis
Memang tidak gampang menjadi penulis itu. Terlebih jika kita belum terbiasa menuangkan sesuatu dalam bentuk tulisan, misalnya kejadian sehari-hari yang dialami. Tapi bukan sesuatu yang rumit dan mustahil untuk kita lakukan.

Berikut beberapa kunci menjadi penulis:
Pertama, sikap kita. Setiap manusia yang bernyawa pasti memiliki harapan. Sebab, manusia tanpa harapan akan ‘mati’. Bagamana kita menyikapi harapan yang telah terbersit dalam jiwa itu akan menjadi nilai poin tersendiri bagi keberhasilan menggapai harapan.

Kedua, optimis. Sikap optimis seseorang berpengaruh besar terhadap kinerja yang dilakukannya. Optimisme yang dibangun dalam diri kita senantiasa membawa kita pada apa yang kita harapkan. Bayangkan, jika seseorang tidak optimis dengan apa yang ia lakukan dan harapkan, semangatkah dalam mencapai keinginannya?

Terlebih bagi para pemula, menulis sering tersendat dengan id-ide yang harus dikeluarkan. Selain itu tulisan yang telah dibuat dengan susah payah tidak ada yang memuatnya, bahkan orang sekitar juga membiarkan begitu saja. Biasanya itu akan melemahkan semangat kita.

Ketiga, istiqamah. Konsisten dengan apa yang kita harapkan akan menjadi dasar kesuksesan. Namun sayang, kita sering berpindah-pindah targetan. Hari ini ingin bisa menulis, besok ingin jadi pembicara yang top. Padahal, jadi penulis belum bisa kita raih. Bayangkan jika hal itu selalu ada dalam diri kita, tidak istiqamah denga apa yang kita harapkan. Kapan cita-cita kita akan tercapai?

Semoga tulisan ini bermanfaat dan kita bisa menjadi penulis yang digandrungi karya-karyanya. Wallahu a’lam bis shawab. (daaruttauhiid)