Sedekah Terbaik

Ada saja yang membuat kita bertanya, “Mengapa ada orang yang beramal lebih dibandingkan kita?” Hal ini sering terlihat jika kita mengujungi Daarut Tauhiid (DT). Baik itu ke masjid, Gerai DT Peduli atau berwakaf. Sangat lancar dan seolah-olah menjadi suatu kebiasan, jika berada di DT pasti beramal.

Bahkan di saat pandemi pun, beramal membantu sesama dan berwakaf di DT bukanlah halangan bagi jamaah dan pengunjung. Sangatlah menakjubkan dan menjadi suatu kebiasan yang harus kita lakukan meski keadaan sulit. Melalui lembaga DT Peduli yang dinilai tepercaya oleh jamaah untuk menitipkan donasi atau sedekahnya.

Kisah tentang Sedekah

Pada suatu waktu, seorang fakir datang meminta bantuan kepada Imam Jafar bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Kemudian Imam Jafar berkata kepada pembantunya, “Apa yang ada padamu?” Pembantu itu menjawab, “Kita punya empat ratus dirham.”

Imam Jafar berkata, “Berikanlah uang itu kepadanya!” Pembantu itu pun memberikannya kepada orang fakir tersebut yang kemudian meninggalkan rumah Imam Jafar dengan rasa gembira.

Tidak berapa lama kemudian Imam Jafar memanggil pembantunya. Setelah muncul, Imam Jafar berkata, “Panggil dia kembali!”

Orang yang dipanggil itu menghadap Imam Jafar kemudian berkata dengan sedikit keheranan, “Aku meminta kepadamu dan kau memberiku, lalu gerangan apakah Anda memanggilku kembali?”

Imam Jafar berkata, “Rasululah saw bersabda, ‘Sebaik-baik sedekah adalah yang membuat orang lain tidak butuh lagi.’ Kami belum membuat kamu merasa tidak butuh lagi. Karena itu, ambillah cincin ini. Harganya sepuluh ribu dirham. Jika kamu memang memerlukan, jual cincin ini dengan harga tersebut.”

Kontan saja orang fakir itu gembira mendapatkan barang yang nilainya lebih dari kebutuhan untuk sekadar makan dan minum.

Hikmah dari Kisah Sedekah Imam Jafar

Mungkin saja orang pada zaman sekarang yang melakukan sedekah seperti Imam Jafar bisa dihitung dengan jari. Paling banyak yang bersedekah dengan mempertontonkan kekayaan atau harta berlimpah dengan dipublikasikan di media massa, atau tertulis pada papan pengumuman.

Memang tidak salah hal itu dilakukan jika niatnya untuk mendorong orang lain agar tertarik bersedekah. Allah Ta`ala berfirman:

إِن تُبْدُوا۟ ٱلصَّدَقَٰتِ فَنِعِمَّا هِىَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا ٱلْفُقَرَآءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَيُكَفِّرُ عَنكُم مِّن سَيِّـَٔاتِكُمْ ۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya:“Jika kamu menampakkan sedekah maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 271).

Memang sangat sulit untuk mewujudkan sedekah menjadi alat yang memberdayakan jika dilakukan seorang diri atau individu. Karena itu, kekuatan ‘sedekah kolektif’ yang dihimpun dalam sebuah lembaga amil zakat perlu didukung dan terus dibantu dengan senantiasa menyalurkan sedekah dan amal sosialnya pada lembaga tersebut. Apalagi jika kita mengetahui track recordnya, maka berkontribusi pada lembaga tersebut menjadi hal utama yang dapat menambah pahala di akhirat.

Memiliki kesadaran bersedekah melalui lembaga dan orang yang tepat bukan soal gampang, karena berkaitan dengan kepercayaan atau keimanan. Seseorang yang tidak yakin pada kebenaran ayat-ayat Allah, tidak akan berani mengeluarkan uangnya untuk bersedekah. Ia mungkin akan lebih merasa aman mengeluarkan uangnya untuk mentraktir makan atau minum yang mahal dengan orang-orang yang dicintainya. Meskipun di lingkungan rumahnya ada orang-orang dhuafa yang membutuhkan modal untuk bangun usaha atau sekadar mempertahankan hidup dengan sesuap nasi, pasti tidak tergerak karena nilai keyakinan hidupnya ditumpukan pada nilai-nilai duniawi (materialisme dan hedonisme). Wallahu ‘alam bishawab. (Eko)