Sedih Indonesia Menjadi 3 Fatherless Country, Pulanglah Para Ayah!

DAARUTTAUHIID.ORGTidak lama ini ada satu riset yang membuat saya terhenyak sejenak, menyebutkan bahwa Indonesia termasuk 3 negara di dunia sebagai negara tanpa ayah (fatherless country).

Pengertian Fatherless dapat diartikan sebagai anak yang bertumbuh kembang tanpa kehadiran ayah, atau anak yang mempunyai ayah tetapi ayahnya tidak berperan maksimal dalam proses tumbuh kembang anak dengan kata lain pengasuhan.

Ternyata apa yang menjadi keresahan kami, kemudian ditulis dalam sebuah buku “Mencari Mahkota di Penghujung Zaman, punya relevansi yang sangat mendalam terhadap fenomena yang ditulis oleh media massa.

Munculnnya berbagai prilaku menyimpang merupakan buah dari mangkirnya peran ayah dalam ruang pendidikan.

Mengutip pemaparan National Longitudinal Study of Adolescent Health bahwa anak-anak fatherless lebih berisiko untuk melakukan tindakan kriminal dibandingkan mereka yang tumbuh bersama sosok ayah.

Hal ini disebutkan juga oleh Lancet dan Hoggerth bahwa anak-anak tanpa figur ayah lebih berisiko mengalami masalah terkait perilaku dibanding mereka yang selalu tumbuh bersama sosok ayah.

Hal ini juga diperkuat dalam al-Qur’an, bahwa terdapat beberapa ayat yang menceritakan tentang kisah seorang ayah dan anaknya, di antaranya adalah Luqman, Nabi Ibrahim, Nabi Nuh, dan Nabi Ya’qub.

Sebagian besar dari ayat-ayat tersebut menyinggung tentang relasi antara ayah dan anak. Kenapa ayah tidak hadir dalam pengasuhan anak? Apakah kehadiran ayah tidak terlalu penting dalam pertumbuhan anak?

Sehingga para ayah tidak perlu memberi ruang waktu dalam proses pendidikan anak. Apakah tingginya angka perceraian di Indonesia membuat para anak kehilangan ayah?

Apakah dalam tatanan sistem pendidikan tidak memberikan penegasan bagaimana seorang ayah dihadirkan dalam pengasuhan anak?

Atau ada banyak variabel lain kenapa ayah tidak pernah ada dalam panggung pendidikan anak? Setidaknya ada beberapa analisa kenapa absennya para ayah dalam pendidikan anak di antaranya:

Pertama, rendahnya literasi mengenai parenting. Banyak yang tidak mengerti bagaimana peran seorang ayah. Seolah-olah proses membangun sebuah keluarga dan menjadi ayah terjadi secara alami, tanpa mempersiapkan ilmu secara matang.

Kedua, masih banyak yang menganggap bahwa peran ayah menjadi peran yang tunggal dalam mencari nafkah, sesuatu yang mutlak dan tidak akan bersentuhan dengan pendidikan anak.

Ketiga, tingginya kasus peceraian membuat anak kehilangan ayahnya. Berdasarakan Kata Data jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. Jumlah ini naik 15,31% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 447.743 kasus.

Keempat, pendidikan informal luput dari perhatian pemerintah. Edukasi dalam meningkatkan kualitas peran ayah dan sosialisasi pentingnya peran ayah masih belum digarap dalam bentuk kebijakan.

Meniadakan peran ayah dalam pendidikan tunas manusia, akan ada kekosongan dalam dalam penyemaian karakter positif, kalau nilai positif yang tidak terisi maka akan ada ruang negatif yang mengisi.

Banyak anak kehilangan kesempatan untuk mengenal diri dan value dalam proses pertumbuhannya, sehingga tidak mengenal dan memahami mana yang baik dan mana yang buruk.

Peran Ayah dalam pertumbuhan anak sangat begitu penting dan tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apapun, karena pembentukan karakter seorang anak lahir dari sosok ayah, yang akan menentukan prilaku sosialnya.

Seorang ayah adalah role model yang menjadi panduan anak-anak, sehingga generasi ke depan mampu menghadapi tantangan hidup yang kian semakin kompleks.

Jadi peran ayah tidak hanya menyiapkan uang, makanan, tempat tinggal, pakaian untuk anak dan keluarganya, tetapi peran ayah juga menjadi sosok yang akan menyiapkan mental atau karakter menjadi generasi mapan dalam segala.

Psikologi terkait parenting menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan berdampak pada perilaku anak sejak dini. Selain itu, ayah yang terlibat dalam mengasuh anak juga menjadi faktor risiko agar anak tidak mengembangkan perilaku antisosial atau tindakan bermasalah lainnya.

Psikologis bahwa seorang ayah adalah pribadi yang kuat, tahan bating, berani, dan bertanggung jawab, maka rasa atau keperibadian itu yang harus ditransfer oleh seorang ayah kepada anak, agar anak-anak tidak rapuh melihat realita zaman yang mudah berubah. (Arga)

Redaktur: Wahid Ikhwan


DAARUTTAUHIID.ORG