Sejarah Nabi dan Rasul

“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud [11]: 120)

Setiap orang lazimnya memiliki kesenangan masing-masing. Tidak hanya anak-anak, orang dewasa (baik laki-laki maupun perempuan) pun sama. Mengapa demikian? Karena manusia adalah makhluk istimewa yang Allah SWT anugerahi potensi aqlun (akal), qalbun (hati), dan nafsun (jiwa) yang satu sama lain saling berkaitan. Hati sebagai raja (yang memiliki kekuasaan untuk memerintah); akal sebagai penasihat (yang akan menangkap fenomena luar melalui indera dan pikirannya); dan jiwa sebagai mesin (yang akan menggerakkan jasmani untuk melakukan sebuah kerja fisik yang dikenal dengan amal perbuatan).

Oleh karena akal adalah penasihat hati, maka pengetahuan menjadi penentu tindakan seseorang. Dan pengetahuan mendasar yang dicari orang dewasa adalah makna dan manfaat di balik sesuatu. Seseorang yang mengetahui makna dan manfaat sesuatu baik benda maupun aktivitas, niscaya ia akan bergerak meraih atau melakukannya. Ketika dihadapkan dengan pilihan yang lain, ia tidak serta merta menerima atau melepas begitu saja. Akalnya akan berpikir keras untuk membandingkan mana di antara keduanya yang memiliki makna dan manfaat lebih baik atau lebih banyak.

Contoh, seseorang yang dihadapkan (ditawari) dua pilihan. Keduanya memiliki warna sama (yaitu kuning) namun berbeda jenis. Benda pertama bernama emas sedangkan benda kedua bernama pisang. Emas adalah logam mulia yang bisa ditukar dengan nominal uang yang jauh lebih banyak daripada pisang. Nah, walaupun dikondisikan sedemikian rupa serta digoda dan dirayu dengan alasan apa pun, bisa dipastikan orang yang mengetahui makna dan manfaat emas tidak akan memilih pisang.

Namun dalam kondisi yang lain, seseorang belum tentu memilih emas. Contoh sederhananya adalah seseorang yang mengalami kondisi tenggelam. Seandainya ia disuruh memilih antara emas atau ban dalam bekas (yang digunakan menjadi pelampung), tentunya ia memilih ban bekas tersebut. Mengapa? Karena akalnya menetapkan kondisi yang dihadapinya tidak sedang membutuhkan harta, melainkan alat yang bisa menyelamatkannya dari kondisi tenggelam.

Demikianlah gambaran kondisi siapa pun. Ia akan merespon dan bergerak sesuai serta sejauh mana makna dan manfaat yang diketahuinya. Tidak lebih dan tidak akan kurang. Begitu pula respon seseorang terhadap “Sejarah Nabi dan Rasul” yang Allah sampaikan di dalam al-Quran. Dia bisa saja antusias dan berusaha keras memahami serta mempelajarinya, tapi bisa juga cuek bahkan diam tak bergeming karena tidak tertarik sama sekali dengannya. Sekali lagi, semua bergantung atas makna dan manfaat yang diketahuinya.

Makna “Sejarah Nabi dan Rasul”
Makna “Sejarah Nabi dan Rasul” bukanlah sejarah biografi seorang tokoh yang menjabat sebagai Nabi atau Rasul. Sangatlah keliru jika ada yang memahaminya demikian. Di dalam QS. al-Fath [48]: 28, Allah menyampaikan Nabi dan Rasul diutus-Nya dengan membawa dua hal, yaitu huda (petunjuk Allah) dan Dinul haq (Dien Islam). Melalui (atas) kedua hal ini, Allah menetapkan satu agenda bagi Nabi dan Rasul-Nya yaitu idzhar (tegaknya) Dien Islam di atas dien-dien yang lain. Inilah misi para Nabi dan Rasul. Sebanyak atau sebesar apa pun bekal serta modal yang Allah anugerahkan, semuanya dihadirkan mengawal para Nabi dan Rasul agar mampu menjalankan misi hidupnya di muka bumi.

Dengan demikian, eksistensi para Nabi dan Rasul jangan hanya sebatas nama, waktu, tempat tinggal, dan “data mati” lainnya yang terkait dengan Nabi dan Rasul. Tetapi harus dilengkapi dengan gambaran kondisi yang dihadapi serta ragam usaha yang dilakukan Nabi dan Rasul untuk mengubah masyarakat dari kondisi awal (dzalim dan jahil), menuju kondisi yang sesuai dengan kehendak Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Atas hal pokok dan kepentingan ini, maka Allah SWT tidak memunculkan “data mati” dalam “Sejarah Nabi dan Rasul” di dalam al-Quran. Melainkan data yang bisa direkonstruksi melalui penelaahan lebih mendalam menggunakan “pisau analisis” yang memungkinkan, di antaranya dengan menggunakan Ulumul Quran, Ulumul Hadis, dan pendekatan Bahasa Arab serta ilmu mantiq. Melalui ilmu-ilmu ini, seseorang akan mampu memotret dan memahami perjalanan hidup Nabi dan Rasul yang wajib diuswahnya. Tanpanya, seseorang akan sulit merealisasikannya.

Manfaat “Sejarah Nabi dan Rasul”
Berdasarkan QS. Hud [11]:120, Allah SWT menyampaikan bahwa ada tiga manfaat yang Allah berikan dalam cerita “Sejarah Nabi dan Rasul”. Ketiga manfaat itu adalah: 1) Sebagai peneguh hati, 2) Sebagai pelajaran, dan 3) Sebagai peringatan.

Manfaat pertama, peneguh hati. “Sejarah Nabi dan Rasul mampu meneguhkan hati seseorang karena ia memberikan pengetahuan tentang gambaran ke-istiqamah-an Nabi dan Rasul dalam menjalani hidup sesuai skenario Allah yakni menjalankan misi hidup di dunia. Sehingga, dunia beserta dinamika di dalamnya tidak hanya mampu dihadapi dan dijalani oleh para Nabi dan Rasul, bahkan mereka mampu mewarnai kehidupan manusia dengan berbagai keteladanan dalam mengarungi hiruk pikuk kehidupan melalui sifat dasar yang dimilikinya yaitu shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh.

Manfaat kedua, pelajaran. “Sejarah Nabi dan Rasul” mampu memberikan pelajaran karena di dalamnya menggambarkan proses (tahapan-tahapan) yang dilakukan Nabi dan Rasul dalam menggulirkan misinya dari awal (masa persiapan atau membangun) sampai akhir (masa meraih kemenangan). Setiap Nabi dan Rasul akan mampu keluar dari ujian hidup dalam kondisi apa pun dan tampil sebagai pemenang, disertai berbagai jawaban hidup berbentuk pola perjuangan yang mampu menyelesaikan setiap masalah dengan efektif dan efisien.

Manfaat ketiga, peringatan. “Sejarah Nabi dan Rasul” menjadi peringatan karena setiap Nabi dan Rasul senantiasa menunjukkan komitmennya untuk menjalani hidup sesuai kehendak Allah dan pantang mencederai sedikit pun atas apa yang Ia tetapkan. Sehingga mereka senantiasa istiqamah mengajak dan mencetak seluruh manusia agar menjadi hamba Allah yang diridai-Nya. Mereka tegas dan tidak memberikan toleransi sedikit pun atas berbagai keyakinan dan pola hidup yang salah. Wallahu a’lam. (Ust. Edu)

sumber foto: www.integrasi.science