Terampil, Ciri Khas Pribadi Muslim

Rasulullah saw bersabda, “Jika sebuah urusan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.” (HR. Bukhari)

Saudaraku, Rasulullah dan para nabi yang diutus sebelum beliau merupakan para profesional di bidangnya masing-masing. Terampil sepadan dengan profesional. Mereka adalah hamba-hamba Allah SWT yang terampil bekerja dan berkarya.

Beberapa di antaranya adalah Nabi Daud, seorang pandai besi yang terampil membuat berbagai perlengkapan dari besi seperti baju besi. Nabi Nuh adalah seorang yang terampil dalam pertukangan yaitu pembuatan perahu. Nabi Zakariya adalah seorang yang terampil dalam perkayuan. Nabi Yusuf adalah seorang profesional dalam bidang kebendaharaan. Dan, Nabi Muhammad adalah seorang pedagang.

Keterampilan, baik itu dalam satu bidang maupun banyak bidang, merupakan ciri khas dari seorang muslim. Islam mengajarkan penganutnya untuk menjadi manusia yang memiliki keterampilan. Sehingga banyak sekali kita temui keterangan yang menunjukkan hal itu, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah.

Mengenai Nabi Daud misalnya, Allah berfirman, “..dan Kami telah melunakkan besi untuknya. (Yaitu) buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Sabaa [34]: 10-11)

Seorang muslim yang memiliki keterampilan, niscaya dia akan memiliki kemuliaan. Karena ia memiliki nilai tambah yang bisa mendatangkan penghidupan bagi dirinya dan bagi keluarganya. Ia akan terhindar dari sikap mengemis atau meminta-minta kepada orang lain, suatu sikap yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah.

Seorang muslim yang memiliki keterampilan akan terhindar dari harta haram, karena ia memiliki potensi diri yang bisa menjadi sumber mata pencaharian dan rezeki yang halal.

Rasulullah pernah bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik dari memakan hasil jerih payahnya sendiri, dan sesungguhnya Nabi Daud makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” (HR. Bukhari)

Jika kita menafakuri lagi pesan dari Rasulullah ini, maka kita akan teringat kepada satu hal, yaitu bukankah Nabi Daud adalah seorang raja? Namun, meski biasanya seorang raja tinggal dilayani saja setiap keperluannya oleh para pelayannya, tetapi Nabi Daud tetap bekerja.

Demikian halnya dengan Nabi Yusuf, yang kisahnya terabadikan dengan indah di dalam al Quran. Beliau diberikan amanah oleh penguasa Mesir untuk memegang jabatan pemerintahan selaku bendaharawan negara. Dengan keterampilannya dalam mengelola keuangan, Nabi Yusuf pun berhasil membawa warga Mesir dalam kestabilan meski sedang di masa paceklik.

Saudaraku, tidak ada kesuksesan tanpa keterampilan. Dan, keterampilan di sini tidak hanya sebatas urusan praktik suatu pekerjaan saja. Tapi, dimulai dari terampil menjaga kebersihan hati. Mengapa? Karena itulah yang mendorong terciptanya profesionalisme dalam pekerjaan yang kita lakukan.

Bukankah Rasulullah, sang suri teladan kita telah mencontohkan mengenai kejujuran dan sikap tanggung jawab terhadap amanah? Inilah unsur terbesar yang sangat berpengaruh untuk menjadi insan terampil.

Terampil sejak menjaga kebersihan hati akan mendorong kita untuk terampil juga dalam menghadapi setiap persoalan kehidupan. Karena hidup yang kita jalani tidak selalu mulus. Ada saja kerikil dan batu sandungan yang kita temui. Jika kita hanya terampil dalam hal pekerjaan, namun tidak terampil mengelola hati, maka mudah saja kita mengalami kegagalan dalam pekerjaan.

Berurusan dengan orang lain bukanlah perkara mudah. Apalagi menghadapi orang yang berbeda latar belakang, karakter, dan kebiasaan. Jikakita tiada terampil mengelola hati, kemudian lisan dan sikap, akan mudah saja tercipta percikan konflik, baik itu dengan klien bisnis atau pun dengan sesama rekan satu kantor.

Penting bagi kita sebagai muslim untuk terampil secara menyeluruh, dari sejak terampil mengelola hati sampai terampil dalam bidang pekerjaan atau keahlian. Sehingga kesuksesan yang kita raih tidaklah sebatas kesuksesan duniawi semata, namun juga kesuksesan ukhrawi. Kesuksesan yang tidak terbatas angka-angka, melainkan kesuksesan yang bernilai tambah, berkah dan bernilai ibadah. Insya Allah. (KH. Abdullah Gymnastiar)