Lembah Mandalawangi, Di Sini Soe Hok Gie Pernah Berpuisi

Ada dua lembah di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Yang satu bernama Lembah Suryakencana di Gunung Gede, satunya lagi Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango. Jika ditempuh dari jalur pendakian Cibodas, membutuhkan jarak sekitar 13 kilometer untuk sampai ke Mandalawangi. Jarak tempuh yang lebih jauh jika dibandingkan ke Suryakencana yang hanya berjarak 10 kilometer.

Selain lebih jauh, jalur pendakian ke Mandalawangi lebih terjal dan sulit. Namun, meski lebih jauh dan sukar pendakiannya dibanding Suryakencana, Mandalawangi paling dikenal dan diminati para pendaki. Tak hanya keindahan, magnet utama Mandalawangi ada pada aura keheningannya.

Pesona dalam Diam

Dingin dan sepi. Itu kesan pertama yang dirasakan ketika menjejakkan kaki di lembah ini. Wajar saja karena Lembah Mandalawangi berada di ketinggian 2.900 mdpl. Ada pun puncak Pangrango yang merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat, ada di ketinggian 3.019 mdpl.

Berada di ketinggian tersebut, Mandalawangi memiliki udara dingin khas pegunungan. Siang maupun malam hari, nyaris tak ada suara yang memecah keheningan di sekitar lembah. Walau dingin dan sepi, justru hal tersebut menarik minat banyak pendaki. Suasana keheningan dan dipadukan dengan dinginnya udara menimbulkan ketenangan yang sukar dicari tandingan. Apalagi ketika kabut turun ketika senja menjelang. Menambah kesan romantik dan misteri yang menyelingkupinya.

Bagi mereka yang lahir dan besar di perkotaan, keheningan Mandalawangi akan jadi pengalaman paling berkesan. Cukup diam sembari merebahkan tubuh di dataran lembah sembari menatap luasnya langit, sihir Mandalawangi akan bekerja. Memberikan rasa terapeutik (ketenangangan), rasa yang diyakini mampu menghilangkan keresahan dan beban hidup sehari-hari. Kesunyian lembah akan menyuntikkan semangat bagi mereka yang lelah dengan monotonnya rutinitas kehidupan.

Selain itu, pesona Mandalawangi semakin mencengkeram para pemujanya karena di lembah ini terhampar tananan eksotik dan endemik khas daerah alpina atau montana. Anphalis Javanica atau edelweis merupakan tanaman yang banyak ditemui di pegunungan pulau Jawa, termasuk di Mandalawangi. Edelweis di kalangan pendaki bagaikan maskot yang amat dibanggakan. Bunga ini pun dijuluki sebagai bunga abadi, karena tidak layu meski telah lama dipetik. Menjadi simbol keabadian cinta kasih dan kesetiaan.

Puisi Soe Hok Gie di Lembah Kasih

Pesona Lembah Mandalawangi adalah tanda kebesaran-Nya. Di lembah ini pula, seorang aktivis legendaris tahun 60-an, Soe Hok Gie terpikat pesonanya. Semasa hidupnya, lulusan sastra Universitas Indonesia (UI) itu tidak hanya kritis dengan ide-ide revolusioner, tapi juga piawai menulis puisi.

Gie, seorang penyair muda yang kerap menuliskan kegelisahan hidupnya dalam bait-bait kata yang indah dan sarat makna. Sebagai anak muda yang hobi hiking, Mandalawangi merupakan tempat favorit Gie melepas penat kehidupan. Tercatat, Gie pernah menuliskan dua puisi yang memotret kekagumannya akan pesona Mandawangi, yakni ‘Mandalawangi-Pangrango’ dan ‘Sebuah Tanya’.

Dua puisi yang begitu reflektif dan memperlihatkan keintiman luar biasa antara Gie dengan Mandalawangi yang ia panggil dengan sebutan ‘lembah kasih’. Bahkan keintiman tersebut berlanjut ketika Gie meninggal dunia. Ia meninggal karena keracunan gas saat mendaki Gunung Semeru. Jasad Gie yang telah dikremasi kemudian dibawa dan kemudian ditaburkan di Lembah Mandalawangi. Gie menyatu dengan yang ia kasihi.

Kini, Mandalawangi tetap memesona. Tak hanya ramai dikunjungi pada tanggal 17 Desember, hari lahir Soe Hok Gie, di hari biasa pun, Mandalawangi mampu menarik hasrat setiap pendaki yang ingin merasakan pesona dalam diamnya.

Mandalawangi-Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu

Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan

Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”

Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Djakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie

Sebuah Tanya

“Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah Mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(Lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)

“Apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. Kita begitu berbeda dalam semua kecuali dalam cinta?”

(Hari pun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Seperti kabut pagi itu)

“Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Selasa, 1 April 1969

Soe Hok Gie