Belajarlah Menjadi Pribadi yang Pemaaf
DAARUTTAUHIID.ORG | Sifat pemaaf salah satu sifat yang ada pada diri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sifat pemaaf juga cerminan akhlak seorang muslim. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya:
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS. Ali Imran: 134).
Ayat diatas dengan jelas memerintahkan bagi seorang muslim agar senantiasa menjadi pribadi yang pemaaf, karena pemaaf adalah bagian dari akhlak yang mulia.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab Makarimul Akhlak menerangkan bahwa di antara bentuk bermuamalah dengan akhlak mulia kepada orang lain ialah jika seseorang dizalimi atau diperlakukan dengan buruk oleh orang lain, maka lebih memaafkan dan mendoakannya.
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Dan jika kamu memaafkan itu lebih dekat kepada takwa” (QS. al-Baqarah: 237).
Orang yang memaafkan juga dianggap melakukan sedekah. Dari Ubadah bin Shamit Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seseorang yang badannya dilukai oleh orang lain, kemudian ia bersedekah dengan memaafkannya (tidak menuntut diyat), kecuali Allah akan hapuskan dosanya sebanding dengan pemaafan yang yang ia sedekahkan”. (HR. Ahmad).
Oleh karenaya, sifat memaafkan merupakan sifat yang seharusnya menjadi tabiat seseorang dan sifat yang seharusnya dipaksakan oleh seseorang kepada dirinya ketika ia dizalimi.
Para ulama menyampaikan bahwa memaafkan itu hukumnya tidak wajib. Seorang yang dizalimi boleh saja tidak memaafkan orang menzaliminya.
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. asy-Syura: 39-40).
Ibnu Katsir Rahimahullah dalam Tafsirnya juga menyampaikan untuk berbuat adil dan diutamakan yaitu memaafkan. Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullahshallallahu ’alaihi wasallam bersabda :
“Maafkanlah ketergelinciran (kesalahan) orang-orang yang baik” (HR. Ibnu Hibban).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa memaafkan itu lebih utama dan merupakan akhlak mulia. Kedua, memaafkan itu tidak wajib, namun mustahab (dianjurkan). Bahkan sangat dianjurkan karena termasuk sunah Rasulullah. Ketiga, lebih utama memaafkan orang yang tergelincir atau melakukan kesalahan terhadap kita.
Semoga kita dapat berusaha dan belajar untuk menjadi pribadi yang mudah memaafkan orang lain. (Arga)