Berani Berhijrah

Saudaraku, banyak yang menyadari suatu kesalahan, tapi tidak banyak yang berani berpindah meninggalkannya menuju kebenaran. Sebagai contoh, ada yang bekerja di sebuah tempat yang jelas-jelas menjadi tempat maksiat. Misalnya, di sana ada fasilitas berjudi, ada minuman keras, dan berbagai bentuk kemaksiatan lainnya, Ia menyadari semua itu dosa, tapi ia tetap saja bekerja di sana. Tidak berani meninggalkannya karena takut nanti tidak mendapatkan rezeki.

Padahal Allah SWT berfirman, “Jika Allah menimpakan sesuatu kemadharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus [10]: 107).

Tidak sedikit pula yang tahu dirinya sangat jauh dari kesalehan karena salat yang masih bolong-bolong, atau karena ketika Ramadan kadang saum kadang tidak, atau berbagai bentuk kemaksiatan lainnya, tetapi ia tidak juga beranjak meninggalkan semua itu untuk menjadi pribadi yang taat. Atau minimalnya menjadi pribadi yang mulai belajar menjadi hamba Allah yang taat.

Saudaraku, sungguh perkara hijrah adalah perkara yang teramat berat kecuali bagi orang-orang yang berani saja. Mari kita simak firman Allah berikut ini, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. Yunus [10]: 107).

Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana jalan meraih kesuksesan sejati dalam hidup. Dalam ayat ini ada tiga hal yang perlu kita tempuh. Pertama, beriman kepada Allah SWT dan mengikuti jalan Rasulullah saw. Keimanan adalah kunci pertama untuk mendapat pertolongan Allah dan meraih kesuksesan. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. al-Mu’min [40]: 51).

Kedua, berhijrah. Hijrah adalah berpindah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Atau, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dan ketiga, yaitu berjihad di jalan Allah, berjuang dengan penuh kesungguhan.

Hijrah memiliki dua makna. Ada hijrah secara makna (ma’nawiyyah) dan ada hijrah secara fisik (makaniyyah). Hijrah secara makna adalah hijrah kepribadian, dari keadaan pribadi sebelumnya kepada keadaan pribadi yang lebih baik secara lahir dan batin. Adapun hijrah secara fisik adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain yang situasinya lebih baik.

Dalam sejarah Islam disebutkan bahwa Rasulullah dan para sahabat pernah berhijrah dari Kota Mekkah ke Kota Madinah (622 M atau tahun ke-15 kenabian). Sebelum hijrah kali ini, terdapat juga dua kali peristiwa hijrah lainnya.

Hijrah pertama pada bulan Rajab tahun ke-5 kenabian, ke Habasyah atau sekarang Ethiopia. Hijrah ini ditempuh oleh sekelompok sahabat yang dipimpin Utsman bin ‘Affan. Hijrah ini dipicu berbagai tekanan orang-orang Quraisy yang diarahkan kepada orang-orang yang lemah. Hijrah ini berlangsung atas seruan Rasulullah saw.

Habasyah atau Ethiopia adalah suatu daerah di ujung Utara Afrika. Daerah yang dipimpin seorang raja yang adil bernama Ashamah an-Najasyi. Tidak ada orang yang teraniaya oleh kekuasaan di bawah kepemimpinannya.

Adapun hijrah kedua terjadi pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Hijrah ini dilakukan oleh Rasulullah menuju Thaif, yaitu suatu daerah di sebelah tenggara kota Mekkah. Kala itu Rasulullah ditemani oleh salah seorang sahabat beliau, yaitu Zaid bin Haritsah. Hijrah kedua ini dilakukan setelah terjadi dua peristiwa besar yang berpengaruh pada diri Rasullah khususnya dan kaum muslim pada umumnya. Yaitu meninggalnya Abu Thalib, paman beliau pada tahun ke-10 kenabian. Abu Thalib adalah sosok yang ikut menjaga dakwah Islam dari gangguan kaum kafir Quraisy. Kira-kira tiga bulan setelah meninggalnya Abu Thalib, istri Rasulullah, Ummul Mukminin Khadijah al-Kubra meninggal dunia pula. Tepatnya pada bulan Ramadhan pada tahun ke-10 kenabian.

Dua peristiwa ini menorehkan duka yang dalam di hati Rasulullah saw. Kematian Abu Thalib dan Khadijah semakin membuat kaum kafir di Mekkah berani untuk menyakiti beliau. Rasulullah. menyebutnya sebagai ‘Amul huzni’ atau tahun duka cita. Sebutan yang terkenal di dalam sejarah.

Dari deretan peristiwa hijrah ini, ada hal penting yang harus kita garis bawahi. Yaitu bahwa sesungguhnya perpindahan Rasulullah bersama para sahabatnya itu bukanlah karena alasan takut dan gentar terhadap gangguan kaum kafir Quraisy. Sama sekali bukan karena alasan takut dan gentar.

Hanya ada satu alasan Rasulullah berhijrah bersama para sahabatnya. Alasan tersebut adalah karena adanya perintah Allah agar beliau berhijrah. Bagi Rasulullah, tidak ada yang pantas ditakuti di antara makhluk-makhluk Allah. Bukankah semua orang yang memusuhi beliau adalah sesama manusia yang juga berada di dalam kekuasaan Allah? Rasulullah yakin tidak ada satu pun makhluk yang bisa melukainya, bahkan sekadar menyentuhnya tanpa izin Allah. Beliau pun yakin tidak ada yang bisa mematikan manusia kecuali atas izin dari-Nya.

Rasulullah hanya takut kepada Allah. Ketika Allah memerintahkan beliau untuk berhijrah, maka beliau pun berhijrah. Ada beberapa hikmah agung dari peristiwa hijrah ini. Di antaranya adalah dimulainya penanggalan Islam, munculnya percontohan sebuah negara Islam, hadirnya konstitusi pertama sebuah negara yaitu Piagam Madinah, momentum persaudaraan yang diwujudkan dalam persatuan Muhajirin dan Anshar, dan hikmah-hikmah lainnya.

Maka hijrah memiliki makna perpindahan lahir dan juga batin. Secara lahir berpindah dari tempat yang tidak kondusif untuk beribadah kepada Allah ke tempat yang kondusif untuk beribadah kepada-Nya. Adapun batin berpindah dari kesyirikan kepada tauhid, dari kemaksiatan kepada ketaatan. Dan, semua ini akan sangat berat untuk dilakukan kecuali oleh orang-orang yang memiliki keberanian sejati. (KH. Abdullah Gymnastiar)