Biarlah Allah yang Membalas

Rasulullah saw pernah bersabda, “Barang siapa menghilangkan kesulitan dari seorang muslim dari kesulitan-kesulitan dunia, maka Allah akan menghilangkan darinya kesulitan-kesulitan pada hari kiamat. Allah akan selalu menolong seseorang selama ia menolong orang lain.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi).

Saudaraku, setiap kebaikan yang kita lakukan, sekecil apa pun itu, pasti Allah SWT melihatnya. Pasti Allah memperhatikannya, dan Allah Maha Mengetahui setiap rahasia, bahkan yang tersembunyi di lubuk hati sekali pun.

Tidak perlu risau atas tenaga yang sudah kita keluarkan demi memberi manfaat bagi orang lain. Tidak usah resah atas lelahnya pengorbanan yang sudah kita berikan. Tidak perlu juga memikirkan ucapan terima kasih atau penghargaan dari makhluk.

Apalah artinya penghargaan makhluk, sertifikat-sertifikat, piala, piagam, plakat dan lain sebagainya itu jika dibandingkan dengan penghargaan Allah? Segala penghargaan manusia itu hanya berumur singkat saja. Kemudian, semua benda itu hanya memenuhi lemari atau rak di rumah kita. Berdebu, rusak, atau patah. Bahkan, boleh jadi akan ada suatu saat sebagian dari benda itu dibuang karena usang dimakan usia. Sedangkan penghargaan Allah jauh lebih agung dan mulia. Berlipat ganda hingga tak terkira, sebagai balasan amal kebaikan yang kita lakukan.

Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]: 16).

Saudaraku, Allah itu Mahadekat. Namun, bisa ada yang menghalangi kita dari kedekatan dengan-Nya. Salah satu sebab penghalang itu adalah kita sangat sibuk dengan penilaian orang lain daripada penilaian Allah. Ketika ngobrol, kita lebih sibuk mengatur intonasi, gaya, pilihan kata-kata, dengan tujuan agar lawan bicara kita tertarik dan mengagumi kita. Kita beli pakaian, kendaraan, berbagai aksesori, hanya demi dinilai bagus oleh orang lain.

Sikap seperti ini akan menodai hati, menghilangkan keikhlasan. Orang yang sibuknya hanya dengan penilaian manusia, ia cenderung munafik, sibuk membagus-baguskan topeng dan lupa untuk membaguskan isinya. Padahal seharusnya, kita lebih sibuk membagus-baguskan hati di hadapan penilaian Allah. Mungkin ucapan yang terlontar dari mulutnya sederhana, tapi karena tanpa dicampuri dusta, sombong, riya’, sum’ah, maka Allah membuatnya bertenaga dan menginspirasi.

Tapi, bukan berarti kita tidak perlu peduli pada penilaian manusia. Berpakaianlah dengan rapi dan wajar, bertuturkatalah dengan sopan dan tidak berlebihan. Tanya di dalam hati, apakah Allah suka pada sikap dan ucapan kita? Kita berpenampilan baik dan rapi saat berhadapan dengan orang lain adalah untuk menghormatinya, bukan untuk dipuji olehnya.

Mengejar penilaian orang lain membuat hati kita tidak tenang, jauh dari kebahagiaan. Lelah karena penilaian orang pasti beragam, tergantung dari selera mereka. Dan, yang lebih mendasar adalah karena ketika kita hanya mengharap penilaian makhluk, sesungguhnya Allah mengetahuinya. Kita tidak mencari apa yang Allah sukai. Kita hanya mencari penilaian orang, dan ini tanda tidak ikhlas. Ketidakikhlasan membuat kita menjauh dari Allah SWT.

Inilah sikap yang tanpa disadari menjadi penghalang bagi kita untuk dekat dengan Allah. Ketika membantu orang lain, mungkin kita berniat ingin mendapat perhatiannya, penilaiannya, dan bisa “mencuri” hatinya. Boleh jadi maksud kita itu berhasil. Tetapi, bagaimana dengan Allah? Apakah Allah rida dengan apa yang kita lakukan? Mungkin kita bisa menjadi dekat dengan manusia, tapi bagaimana dengan Allah, apakah kita makin dekat dengan-Nya ataukah malah semakin menjauh?!

Tidak perlu berhitung-hitung untung rugi dalam membantu saudara kita. Kalau kita bisa bantu, bantu saja. Jangan sibuk dengan pikiran kita dapat apa, karena pikiran-pikiran seperti itulah yang mengancurkan nilai dari amal kita menjadi sia-sia. Sehebat apa pun amal baik kita.

Orang yang rugi adalah orang yang datang di hadapannya kesempatan untuk berbuat kebaikan, namun ia membiarkannya lewat begitu saja tanpa antusias meraihnya karena sibuk memikirkan untung rugi duniawi. Padahal, belum tentu kesempatan seperti itu datang lagi. Dan, belum tentu juga umurnya akan sampai pada perjumpaan dengan kesempatan berbuat baik yang berikutnya.

Maka, beruntunglah orang yang senantiasa bersegera mengambil kesempatan berbuat kebaikan, membantu tetangga yang kesulitan, memungut sampah dan memindahkannya kepada tempat yang semestinya, mengisi kotak amal yang lewat di hadapannya, dan berbagai kebaikan lainnya dengan niat agar Allah rida kepadanya. Semoga kita termasuk orang-orang yang beruntung ini. Aamiin. (KH. Abdullah Gymnastiar)