Bolehkah Kita Kaya Harta?

Bolehkah kita menjadi orang kaya? Jawabannya, harus. Seorang muslim harus jadi orang kaya. Dengan jadi orang kaya, kita bisa berbuat banyak untuk orang lain. Pantang bagi orang muslim menjadi beban orang lain.

Kita bisa belajar pada tokoh yang satu ini. Namanya, Safei Antonio. Tokoh karismatik yang bisa jadi teladan. Saat ini, selain mengajar, ia menjadi direktur salah satu bank syariah dan juga konsultan perekonomian syariah berbasis Islam. Lulusan dari tiga universitas luar negeri (al-Azhar Cairo, Melbourne Australia, dan Oxford Inggris) dalam bidang ekonomi pembangunan. Dia bukanlah seorang muslim dari lahir.  Dia seorang mualaf. Dia keturunan Tiong Hoa.

Ketika masih remaja, cahaya hidayah Allah ‘menyusup’ ke dalam hatinya. Ia ingin masuk Islam. Diutarakan niatnya itu pada orangtuanya. Namun, orangtuanya berkata, “Silahkan kamu masuk agama apa saja, asalkan bukan Islam.” Ia sempat tersentak kaget ketika orangtuanya berkata demikian. Mengapa?

“Karena Islam mengajarkan umatnya hidup dalam kemiskinan, semakin miskin dan sederhana, maka (katanya) semakin takwa. Islam hanya mementingkan akhirat dengan zikir dan salat mereka, tapi mereka tertinggal dalam ilmu pengetahuan. Masa depan agama seperti ini adalah suram.”

Ia pun tercenung. Indonesia dan negara Islam lainnya di seluruh dunia, rata-rata negara berkembang yang tak kaya. Selain itu, memang banyak yang miskin. Dan lebih parah lagi, negara pengikut dalam bidang sains dan ekonomi. Fakta menunjukkan, sejumlah negara berpenduduk Islam (seperti Bangladesh, Pakistan, dan negara-negara Afrika Utara) memang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Ekonom Philip M. Parker pernah menulis, orang Yahudi yang hidupnya paling makmur. Penghasilan per kapita mereka, rata-rata, US$ 16.100 per tahun. Orang Kristen US$ 8.230, Buddha US$ 6.740, dan Islam hanya US$ 1.720. Padahal, jumlah penganut Yahudi hanya sedikit.

Ketakwaan Tak Identik Kemelaratan
Majalah Time, pernah menurunkan laporan tentang jumlah pemeluk agama-agama besar di dunia. Orang Kristen (dan Katolik) yang terbanyak, sekitar 2 miliar orang. Islam sekitar 1,3 miliar, Hindu 900 juta, Buddha 360 juta, dan Yahudi 14 juta orang.

Islam ajaran yang paling sempurna. Islam, pedoman hidup bagi umatnya. Terkadang umatnya yang mempermalukan Islam. Salah satu ajaran Islam, mengajarkan ‘tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah’ (QS. al-Baqarah [2]: 272). Islam, agama yang mengajarkan umatnya untuk mengejar dan menghargai ilmu pengetahuan (QS. al-Mujadilah [58]: 11). Dari dua surah ini saja kita dapat mengambil kesimpulan, seorang muslim harus cerdas dan kaya.

Kesalihan dan ketakwaan tak identik dengan kepapaan, kemelaratan, kesengsaraan, dan ketertindasan. Anggapan hanya orang miskin, jelata, dan tertindaslah yang layak menghuni surga. Sebaliknya, orang kaya dan orang yang punya jabatan tak punya tempat di surga. Ini anggapan  yang sangat keliru.

Begitu juga dengan zuhud. Zuhud tak identik dengan melarat. Zuhud merupakan kepuasaan hati dengan apa yang diberikan Allah SWT. Zuhud adalah ketiadaan ikatan hati kepada harta dan hal-hal bersifat material lainnya.

Anjuran untuk Kaya
Mengapa Islam menganjurkan kita kaya? Pada dasarnya manusia menginginkan kemudahan dan kelimpahan materi. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya kefakiran (kemiskinan) itu bisa menjerumuskan ke jurang kekafiran.” Coba kita perhatikan, saudara kita yang miskin, mereka ada yang rela mengorbankan akidahnya demi mendapatkan satu dus mie instan.

Jika kita dalam kondisi kemiskinan, maka ini bisa mengakibatkan kita pusing dan kekhusu’an salat pun jadi terganggu. Kita tak akan bisa salat dengan khusu’. Dalam kondisi miskin, bisa jadi puasa bukan merupakan ibadah, tapi merupakan bagian dari rutinitas. Ketika ia tak punya uang, maka puasa jadi solusi untuk menahan lapar dan dahaga saja.

Jika kita miskin, kita tak akan mempunyai kemampuan untuk membayar zakat. Zakat begitu besar manfaatnya bagi seorang muslim. Zakat dijanjikan Allah mampu menghapuskan dosa dan menyucikan diri kita (QS. at-Taubah [9]: 103). Apalagi kalau kita mampu sedekah, infak, amal jariyah, keuntungan pahalanya bisa mencapai 700 kali lipat (QS. al-Baqarah [2]: 261). Jelaslah, dengan harta kita bisa maksimal beribadah.

Jika kita miskin, kecil kemungkinanan bisa beribadah haji. Tak mungkin bisa beribadah haji kalau untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sangat sulit. Sementara ibadah haji membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Ibadah haji itu wajib bagi muslim yang mampu (QS. Ali Imran [3]: 97). Sepertinya indah hidup ini jika sebelum ajal menjemput kita sempat beribadah haji.

Islam sangat menjunjung tinggi nilai kebenaran. Jangan sampai dalam menjemput kekayaan, kita menghalalkan segala cara. Kekayaan itu akan datang secara otomatis seiring dengan ikhtiar secara syariat dan doa. Karena Allah sering mendatangkan rezeki dari arah yang tidak diduga-duga (QS. Muhammad [47]: 7).

Poin penting yang harus kita ingat, jangan sampai harta kekayanan membuat kita lupa kepada Allah. Cinta kita pada harta, jangan sampai melebihi kecintaan kita kepada-Nya (QS. at-Taubah [9]: 55). Ini yang ditakutkan, khawatir umat Islam dimabuk harta. Harta harus jadi sarana kita untuk menggapai cinta-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. (daaruttauhiid)