Jati Diri Muslim: Mengubah Buih Menjadi Arus

Ummat yang telah kehilangan jati dirinya, dianalogikan bagai buih. Buih memiliki dua karakteristik. Pertama, buih itu nyaris tidak memiliki bobot, sangat ringan timbangannya (‘adamul wazn). Kedua, buih itu tidak memiliki arus (‘adamuth thayar), bahkan ia ikut hanyut kemana arus mengalir.

Begitu pulal ummat yang telah kehilangan jati dirinya, keberadaannya tidak memberikan nilai apa-apa kepada sekitarnya, bahkan kehadirannya pun tidaklah diperhitungkan selain menjadi incaran dan santapan ummat lainnya. Ummat yang telah kehilangan jati diri pun tidak memiliki keistimewaan budaya dan peradabannya, sebab itu ia pun mengekor budaya yang menerpanya, dan mengikuti peradaban bangsa lainnya.

Membangun kembali jati diri seorang muslim, berarti memberikan kembali bobot setiap muslim. Apabila setiap muslim kembali kepada jati dirinya, maka ummat pun akan kembali memiliki arus. Arus yang akan mampu menghadapi berbagai tantangan yang dihadapinya.

Meraih kembali jati diri muslim memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, sebab celupan Allah (shibghatallah) tidaklah serta merta meresap ke dalam diri setiap muslim karena semata ia mengikrarkan dua kalimat syahadat. Celupan ini akan masuk dan meresap dalam diri setiap muslim, apabila ia senantiasa berada dalam proses pembinaan diri. Hal ini telah menjadi sunnatullah dalam kehidupan Bahkan Rasulullah SAW adalah orang yang senantiasa dalam proses pembinaan. Beliau, sebelum masa diangkat sebagai Rasul Allah, adalah pribadi yang senantiasa membina diri, membersihkan diri dan hatinya dari kemaksiatan dan kedzaliman yang merajalela. Begitupula setelah beliau diangkat menjadi Rasulullah SAW, beliau pun selalu berada dalam keadaan terbina dalam binaan Rabbaniah, sehingga beliau menyatakan; “Aku dibina oleh Rabbku dengan sebaik-baik pembinaan”.

Demikian halnya dengan para shahabat, mereka pun senantiasa berada dalam proses pembinaan yang dibimbing langsung oleh Rasulullah SAW. Mereka yang senantiasa berada dalam keadaan membina diri inilah yang disebut Allah SWT sebagai generasi Rabbani, yakni generasi yang senantiasa mempelajari al-Kitab dan mengajarkannya. Generasi Rabbani ini yang akan dengan mudah menerima celupan Allah ke dalam hatinya, mewarnai pikirannya, dan memperindah perilakunya.

Jadi, tatkala seseorang mengikrarkan syahadatain, menyatakan diri sebagai muslim, maka hal itu seharusnya menjadi titik tolak bagi dirinya untuk memulai proses pembinaan. Hal pertama yang harus difahami dari seorang muslim, adalah memahami makna syahadatain yang diucapkannya. Syahadatain, adalah pintu gerbang untuk masuk ke dalam keimanan. Dengan memahami konsekwensi syahadatain, seorang muslim bisa melihat buah keimanannya, yakni munculnya rasa cinta kepada Allah (mahabbatullah).

Rasa cinta kepada Allah, akan melahirkan sikap yang menerima secara totalitas seluruh ketentuan Allah yang dituangkan dalam syari’ahNya. Rasa cinta ini melahirkan sikap ridha atas seluruh ketetapan dan keputusan Allah. Ridha menerima Allah sebagai Rabb-nya, menerima sepenuhnya Muhammad sebagai RasulNya, serta ridha untuk masuk ke dalam Islam secara totalitas.

Tatkala sikap ridha telah mewujud dalam diri seorang muslim, maka saat itulah proses pewarnaan mulai mewarnai diri seorang muslim. Aqidah dan keyakinan seorang muslim, diisi oleh keyakinan penuh hanya kepada Allah. Pemikiran dan cara pandangnya terhadap kehidupan merujuk kepada kerangka nilai yang diberikan Islam yang tertuang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sikap dan perilakunya selalu merujuk kepada ajaran dan bimbingan akhlaq Islam.

Tanpa adanya sikap ridha, tidaklah mungkin celupan Allah (shibghatallah) akan mampu mewarnai seorang muslim. Bila pun masuk, maka warnanya akan menjadi aneh dan rusak. Betapa anehnya bila kita menyaksikan seorang muslim berpolitik dengan ideologi komunis. Sangat mengherankan orang-orang muslim yang menampakkan keshalihan, pada saat yang sama dikenal sebagai koruptor. Warna-warna Islam yang compang-camping semacam ini, tidak menampakkan keindahan sama sekali, malah nampak rusak dan buruk.

Karena itu, untuk menjadikan diri kita tercelup oleh shibghah Allah, tidak ada jalan lain selain kita senantiasa melibatkan diri dalam proses pembinaan, membina diri dalam tuntunan Islam. Pada saat itulah, celupan Allah akan mulai mewarnai diri kita, sedikit demi sedikit, setahap demi setahap. Pada saat itu pulalah, bobot diri kita mulai meningkat dan secara bersama dengan saudara muslim lainnya, setiap sikap dan perilaku kita, akan menampakkan warna yang indah, menarik hati ummat lainnya untuk melihat, menikmati dan mengikuti. Saat itulah, ummat telah memiliki arusnya sendiri. (daaruttauhiid)