Kita Ini Da’i

Da’i. Kata itu tidak asing bagi kita semua. Julukan yang sering dilontarkan bagi mereka yang suka menyampaikan ceramah keagamaan. Namun, betulkah hanya mereka yang disebut da’i itu?

Secara bahasa da’i adalah penyeru atau penyampai informasi. Dalam teori komunikasi, da’i itu adalah komunikator. Ia yang selalu menyampaikan pesan kepada komunikan. Secara istilah da’i adalah seseorang yang menyampaikan pesan-pesan tentang ajakan menuju jalan Allah (amar ma’ruf nahyi munkar) kepada mustami’ atau umat.

Pengertian tersebut sejalan dengan kalamullah yang tersurat dalam ayat 125 surah an-Nahl, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik …” Tersirat ayat ini menjadi landasan definisi da’i, baik secara bahasa maupun istilah.

Namun, definisi ini belum cukup menjawab pertanyaan yang telah diajukan sebelumnya. Selanjutnya kita akan mencoba menelusuri kewajiban dakwah dan media dakwah.

Kewajiban Dakwah
Setiap muslim adalah da’i. Sebab, setiap muslim berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahyi munkar. Hal ini senada dengan penegasan Allah dalam lantunan firman-Nya, “Kalian adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan kalian beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3]: 110).

Maksud utama dari ayat ini adalah menegaskan pentingnya amar ma’ruf nahyi munkar bagi umat. Karenanya perintah ini disebutkan lebih dahulu. Jadi, syarat utama agar umat Islam menjadi lebih mulia daripada umat lainnya, maka kita harus melakukan perintah tersebut. Andaikata tidak, maka tidaklah pantas bagi kita memperoleh kehormatan.

Sayangnya, pemahaman kewajiban dakwah pada umumnya dipahami hanya untuk orang tertentu, yakni para ustaz atau kiai. Maka pantas jika ada ungkapan seseorang yang melihat kemaksiatan, “ Itu bukan urusan saya, tapi urusan ustaz atau kiai.” Padahal merujuk ayat yang disebutkan sebelumnya, jelas bahwa dakwah merupakan kewajiban bagi setiap orang. Hal ini ditegaskan dalam hadis, dari Abu Said Al-Khudri ra berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda: “Barang siapa melihat kemunkaran dilakukan di hadapannya maka hendaklah ia mencegah dengan tangannya, jika tidak mampu cegahlah dengan lidahnya, jika tidak mampu maka hendaklah dia merasa benci di dalam hatinya, dan ini selamah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Selain menegaskan kewajiban dakwah, hadis ini mejelaskan pula tentang proses pelaksanaan dakwah yaitu sesuai kemampuannya. Karena Allah semata-mata memberi tugas kecuali sekemampuan makhluk-Nya, yang ditegaskan dalam firman-Nya, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ….” (QS. al-Baqarah [2]: 286).

Akan tetapi, saat penyampaiannya jangan serta-merta. Gunakan komunikasi yang baik. Komunikasi yang telah diatur dalam al-Quran. Ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman.

Media Dakwah
Pemahaman yang kurang tepat tentang kewajiban dakwah kita luruskan di sini. Persepsi yang kurang tepat menilai bahwa dakwah adalah ceramahnya seseorang di atas mimbar, atau di depan jamaah banyak seperti tabligh akbar. Dari itu, mereka pikir dirinya tidak wajib berdakwah karena tidak bisa seperti yang para ustaz atau kiai lakukan. Padahal, itu hanya salah satu bentuk media dakwah saja dan dikaji sebagai level dakwah ummah.

Berdakwah yang dipahami berceramah di depan jamaah merupakan suatu bentuk media dakwah, yakni dakwah secara langsung. Hanya saja levelnya bertingkat. Kita yang tidak mampu dakwah langsung di hadapan jamaah banyak, masih tetap menyandang hukum wajib berdakwah. Senantiasa kita mampu melaksanakan dakwah nafsiyah (diri sendiri) dan dakwah fardiyah (orang per orang). Bukankah Allah menyuruh untuk saling menasehati di antar kita. Sebagaimana firman-Nya, “ …. Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. al-Ashr: 3). Sederhananya, lakukanlah kewajiban dakwah kepada orang-orang terdekat, terutama keluarga.

Bagi mereka yang tidak mampu dakwah secara langsung di depan jamaah, mereka masih dapat melakukan dakwah lewat media lain. Lewat media cetak atau online, misalnya. Mereka yang gemar menulis, lakukanlah dakwah lewat tulisan. Esensinya sama dengan dakwah langsung yaitu menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Menulis ke media cetak atau online dengan harapan ilmu yang kita tulis diraih banyak orang. Selain itu media dakwah elektronik (televisi, radio) juga dapat kita jadikan sebagai media transformasi ajaran Islam.

Sebagai penutup, tanamkanlah dalam diri masing-masing bahwa dakwah dapat kita lakukan. Masalah jenis media dan level dakwah, kita kembalikan pada kemampuan diri masing-masing. Jadi, tidak ada kata untuk mengingkari kewajiban dakwah. Wallahu a’lam bisshawab. (daaruttauhiid)