Magnet Hati  

Setiap manusia yang diciptakan Allah, memiliki potensi menerima dan menolak. Potensi menerima dan menolak merupakan sebuah keniscayaan pada diri manusia. Jika tidak memiliki potensi ini berarti ia telah kehilangan dirinya, kehilangan rahasia wujudnya. Ia ibarat pohon kering yang daunnya berguguran, tidak hijau dan tidak hidup. Ia juga ibarat pohon yang tidak berbuah, hidup tapi seperti mati. Ia tidak memiliki pengaruh dalam kehidupannya karena hanya dapat mengambil tetapi tidak dapat memberi.

Potensi menerima dan menolak sangat dipengaruhi oleh hati. Jika hatinya baik, maka ia akan cenderung menerima kebaikan dan menolak keburukan. Sebaliknya, jika hatinya buruk maka ia cenderung menerima keburukan dan menolak kebaikan.

Hati adalah raja. Ia pengendali setiap langkah manusia. Ia bersama akal berperan dalam menentukan setiap keputusan. Ia menjadi barometer buruk tidaknya manusia. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh, bila ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, demikian sabda Rasulullah saw mengenai hati.

Hati yang Hidup
Di antara umat Islam ada beberapa orang biasa yang kedudukannya sangat istimewa di hadapan Allah. Ia bukan ulama, bukan pula syuhada. Kedudukannya itu telah membuat syuhada, ulama, bahkan para nabi iri hati. Mereka dapat menyingkap rahasia kehidupan. Menyingkap rahasia Allah dalam dirinya, sehingga ia dapat menggunakan potensi indera penglihatan, pendengaran, dan hati sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ia mampu mengendalikan semua inderanya untuk ketaatan kepada Allah. Ia gerakkan organ tubuh dan jiwanya dalam ketekunan dan kekhusyuan beribadah.

Dari dalam jiwanya lahir gelombang semangat. Ia hidupkan malam-malamnya dengan tahajud dan berdoa menyesali setiap kekeliruan. Siangnya ia tebarkan kasih sayang dan kebaikan. Ia seru manusia agar kembali ke jalan Allah. Ruh dan hatinya menjadi penarik setiap hati manusia yang kembali menemukan pintu hidayah. Hatinya menjadi magnet hati-hati yang lain. Hatinya telah mendapat petunjuk dan perlindungan dari sang Maha Pemberi Petunjuk.

Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. al-Anfal [8]: 24).

Hati yang Mati
Allah telah menggambarkan orang yang kering hati dan berkarat jiwanya dalam al-Quran, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]: 74).

Abbas as-Siisiy dalam buku Ath-Thariq ilal Qulub (Bagaimana Menyentuh Hati) menjelaskan, dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa batu itu sensitif. Bahkan ketika ia meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Tetapi kita tidak memiliki peralatan yang dapat membuka rahasia, bagaimana batu itu dapat sensitif. Namun kita yakin melalui ayat tersebut bahwa ia memang sensitif, takut, dan melekat satu sama lain karena takutnya kepada Allah.

Jika batu sensitif, gemetaran, dan melekat satu sama lain karena takut kepada Allah, lanjut Abbas as-Siisiy, lalu bagaimana dengan manusia yang banyak diberikan Allah kenikmatan yang besar, seperti akal, perasaan, dan hati sebagai penitipan rahmat. Sebagian manusia yang hatinya hidup mensyukuri semua kenikmatan Allah. Dan sebagian besar yang lain kurang mensyukuri atau bahkan tidak bersyukur sama sekali terhadap pemberi rezeki, Allah SWT.

Manusia yang kufur nikmat ini telah mati hatinya. Sebagaimana firman Allah, “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. al-Baqarah [2]: 10).

Orang yang mati hatinya sukar menerima kebenaran. Ia akan bertindak sesuai kehendaknya. Nafsu syahwatnya menjadi pengendali, sehingga ia akan menjadi mahluk yang angkuh dan sombong.

Karena itu, berlindunglah dari hati yang keras, hati yang mati, hati yang dikendalikan nafsu. “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi.” (daaruttauhiid)