Menakar Kadar Empati

Bisakah manusia hidup sendirian? Berkelana dan menghabiskan usia tanpa seorang pun manusia di sekitarnya? Tentu saja tidak. Sebagai makhluk sosial, ia pasti membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sayangnya, di sisi lain manusia juga memiliki sifat egois yang lebih mementingkan diri sendiri. Sifat egois inilah yang merusak hubungan atau relasi dengan orang lain. Namun, sifat egois dapat diantisipasi dengan mengembangkan sifat empati terhadap sesama.

Empati, Fitrah Manusia

Bermula dari simpati diharapkan tumbuh menjadi sebentuk empati. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008, h.390), menyebutkan bahwa empati merupakan kemampuan menghadapi perasaan dan pikiran orang lain. Dengan kata lain, empati merupakan sikap yang membuat seseorang merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. Fitrah setiap manusia yang terlahir, siapapun dia telah dibekali perasaan empati. Hanya saja, seiring dengan perkembangannya empati harus diasah. Keluarga apatis atau tidak peduli dengan lingkungan tetangga misalnya, secara tidak langsung telah mengajarkan anaknya untuk bersikap kurang empati dengan lingkungan. Dalam taraf membahayakan, seseorang tanpa rasa empati tidak segan berbuat aniaya atau zalim kepada sesama.

Karena itulah dalam Islam, porsi empati sangat dipentingkan sekali. Tidak hanya mengurusi ibadah maddhah yang langsung berhubungan dengan Allah, namun juga memerintahkan kepada kita agar memperhatikan kondisi sekitar. Apakah ada yang memerlukan pertolongan? Jika masih ada, adalah kewajiban kita membantunya lepas dari himpitan masalah, minimal meringankan dan memberikan solusi.

Rasulullah saw pernah melakukan hal tersebut. Pada suatu malam, ada seorang Badui mengetuk pintu rumah Rasulullah dan meminta bantuan makanan, pakaian dan uang. Namun, karena Rasulullah pun tidak memiliki apa yang diinginkan orang itu, ia dengan penuh kasih sayang memberikan solusi dengan menyuruh Bilal (sahabatnya) menunjukkan rumah Fatimah, putrinya yang kemudian memberikan bantuan secukupnya.

Indikasi Keimanan Seorang Muslim

Dalam al-Quran banyak ditemui ayat yang menganjurkan kita menyayangi sesama. Tidak hanya kepada sesama Muslim, kepada yang non-Muslim pun dianjurkan tetap berbuat adil. Allah mengingatkan hal ini dalam salah satu ayat-Nya, bahwa janganlah kebencian terhadap suatu kaum membuat kita jadi berlaku tidak adil (QS al-Maidah [5]: 8). Dalam ayat lain, disebutkan pula bahwa kasih sayang adalah salah satu karakter orang Muslim (QS al-Fath [48]: 29). Keterangan tersebut memperjelas indikasi (tanda) keimanan seseorang yang terlihat dari sejauh mana kepedulian dan rasa empati kepada penderitaan sesama.

Banyak sekali contoh empati yang diajarkan Rasulullah, misalnya ketika memimpin shalat berjama’ah dan mendengar ada tangisan anak kecil, beliau langsung memendekkan bacaan shalatnya. Pada kesempatan lain, ketika mengetahui bahwa dalam jama’ahnya juga terdapat orang tua atau yang sedang sakit, beliau juga memendekkan shalatnya. Subhanallah, betapa indahnya empati yang ditunjukkan oleh uswah (teladan) kita itu.

Rasulullah saw pun pernah menyampaikan bahwa perumpamaan kaum Muslimin dalam saling menyayangi seperti satu tubuh. Bila salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain ikut pula merasakan hal yang sama. Inilah yang hendaknya juga kita rasakan. Contohnya berempati dengan penderitaan saudara seiman kita di Palestina yang sekarang ini dizalimi Israel.

Bila memang kita belum mampu berbuat banyak, minimal teruslah berdoa untuk mereka. Lalu, bagi yang mampu secara finansial (harta), aktualkan dengan memberikan sebagian harta itu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Apapun posisi kita saat ini, pasti ada celah dan jalan untuk berbuat sesuatu. Ujian bagi rakyat Palestina, selain menjadi hikmah kebaikan, juga ladang amal untuk berbuat semaksimal yang bisa kita perbuat!

Asah Empati

Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengasah empati? Mulailah dari hal terkecil dan jangan ditunda-tunda. Misalnya, menawarkan berbagi makanan kepada orang lain adalah sebuah latihan mengasah empati. Atau menjenguk orang sakit, menebar senyum, membantu tetangga dan sebagainya. Sebenarnya banyak sekali ladang empati yang bisa dilakukan. Semuanya berpulang kepada kita, mau atau tidak meraihnya.

Kerangka berpikir yang hendaknya dimiliki, adalah mengusahakan untuk tidak berpikir untung dahulu. Kadang, untuk berempati saja kita masih berpikir, apakah ada manfaat buat saya. Justru sekarang harus dibalik, bahwa empati tidak akan merugikan. Justru membuat pelakunya makin tenang dan mendapatkan ridha dari Allah. Sebagaimana ada hadis yang menyatakan bahwa barangsiapa menyayangi sesama, maka Allah pun akan menyayanginya.

Kita juga dapat mengasah empati dengan sering bertemu orang-orang yang secara fisik membutuhkan pertolongan, misalnya ke panti asuhan, panti jompo, atau daerah-daerah kumuh. Dengan melihat atau bergaul bersama mereka, kita akan belajar sisi lain dari kehidupan. Kita juga akan semakin bersyukur dengan segala karunia yang diberikan Allah.

Satu lagi cara mengasah empati, yaitu bayangkan bila kita yang berada diposisi mereka. Pergiliran nasib pasti akan selalu ada, tidak ada yang statis dalam hidup manusia. Saat ini, boleh jadi kita yang membantu mereka. Di lain waktu, bisa sebaliknya.

Dalam ilmu pengembangan diri, sikap empati juga menjadi jalan kesuksesan berinteraksi dengan orang lain. Bila sifat empati menjadi karakter kuat seorang Muslim, siapapun yang berada disekitarnya, pasti akan merasakan manfaat. Dan yang paling penting dari sifat empati, tentu saja aplikasinya. Empati tidak hanya berhenti dalam hati saja.

Mulai detik ini, mari menakar kadar empati kita. Jangan sampai penghayatan keberagamaan hanya menyentuh pada ibadah ritual, namun lupa pada indikasi keimanan yaitu empati yang mewujud kepedulian kepada sesama. Semoga Allah menggolongkan kita menjadi orang yang pandai bersyukur dengan senantiasa berupaya menebar kebaikan kepada sesama. (Nurhayati)

sumber foto: pikiran-rakyat.com