Mencetak Generasi Mujahidah

Semarak. Itulah kata yang tepat kita ungkapkan melihat kebangkitan muslimah di negeri ini. Kebangkitan itu bermula dari komunitas-komunitas kecil di bidang sastra, karya tulis, majelis taklim (kholaqoh), dan kajian sosial budaya.

Berkembangnya komunitas tersebut gaungnya bukan saja menjalar secara lokal. Tetapi, dapat menjadi sarana efektif dalam mengembangkan dakwah. Memperhatikan kiprah muslimah yang semakin ‘agresif’ menarik untuk kita ditelaah.

Telaah ini kita mulai dari motivasi muslimah dalam merintis jalan dakwah, kekuatan sarana dalam meningkatkan kinerja dakwah, dan tantangan yang dihadapi muslimah saat membentangkan sayap dakwah. Dari ketiga telaah ini, kaum muslimah sebenarnya tengah mencetak generasi mujahidah. Sebuah harapan mulia dalam pandangan Allah SWT.

Merintis Jalan Dakwah
Islam memandang muslimah sebagai tiang tegaknya keutuhan rumah tangga. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa mawadah dan rahmah. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. ar-Ruum: 21)

Kiprah muslimah dalam tataran dakwah di era lintas batas sekarang ini, cenderung disebabkan faktor amar makruf nahi munkar. Dengan demikian, kehadiran mereka dalam pentas dakwah bukan mengabaikan kodrat. Melainkan, sebuah upaya partisipasi dalam menegakan dienul Islam.

Sejarah Islam mencatat, pentas dakwah kaum muslimah sudah ditegakkan sejak Siti Khadijah, istri Rasulullah. Siti Khadijah merupakan perempuan pertama yang memeluk Islam. Dari tauladan beliau, lahir muslimah-muslimah perkasa seperti Aisyah, Fatimah Az-Zahra, Ummu Hani (bibi Rasululllah), Hindun binti Utbah (wanita jahiliyah yang berubah menjadi pembela Islam), Sumayyah dsb.

Dalam melaksanakan dakwahnya, mereka rela berkorban. Bahkan nyawa sekalipun. Sumayyah misalnya, ia seorang muslimah yang gugur di medan tempur. Ia adalah istri Yasir bin Ammar. Ia adalah seorang ibu yang mempunyai keteguhan iman yang kokoh ketika ia menghadapi siksaan paling berat dari Abu Jahal bersama kawan-kawannya,

Menurut Ibu Ishak dalam bukunya Al-Maghazi,”Sebelumnya ia sudah diberitahu oleh keluarga Ammar Bani Mughirah agar ia meninggalkan agama Islam. Namun ia tidak mau. Karena itu ia disiksa di padang pasir dengan kejam.” Maka, dalam sejarah dikenal perempuan yang pertama kali masuk islam adalah Siti Khadijah. Sedangkan perempuan yang pertama kali mati syahid adalah Sumayyah. (Muhamad Nur Ali, 2004: 127).

Sentral Muslimah
Pada zaman Rasulullah mesjid merupakan pusat peradaban. Dari tempat suci itu ilmu mengalir. Akhlak terbina dan ukhuwah terjaga. Dengan kata lain, eksistensi mesjid dalam pandangan Nabi saw merupakan muara ilmu dan sarana kebersamaan.

Menurut Wahyudin Sumpeno (1994), mesjid di samping berfungsi sebagai tempat ibadah salat, mesjid juga sebagai tempat mengkaji, menelaah, dan mengembangkan ilmu pengetahaun alam dan ilmu pengetahaun sosial. Setelah melaksanakan tugas kerasulannnya selama lebih kurang dua belas tahun di Makkah nabi Muhamad hijrah ke Madinah dan yang pertama-tama dilakukannya adalah mendirikan mesjid. Mesjid itu yang kemudian terkenal dengan nama dengan mesjid Nabawi. Dari mejid inilah titik tolak perkembangan Islam hingga menyebar keseluruh jazirah Arab dan seluruh dunia. Jika kita perhatikan bahwa munculnya kemajuan umat Islam dalam bidang ilmu kedokteran, pemerintahan, hukum, ekonomi, matematika, dan ilmu pasti alam berpangkal dari mesjid.

Sejalan dengan itu dapat disimpulkan bahwa mesjid secara umum dapat berfungsi sebagai tempat menamamkan aqidah Islamiah, tempat melaksanakan salat, terutama salat Jumat, tempat belajar/mengajarkan ajaran Islam dan ilmu pengetahuan lainnya, tempat dan pusat dakwah Islam, tempat pendidikan pribadi dan masyarakat Islam, tempat menyelesaikan permasalahan secara musyawarah tentang segala aspek kehidupan umat Islam dan tempat mengembangkan seni dan budaya Islam (Wahyudin, 1994: 2).

Berkaitan dengan kebangkitan muslimah, maka eksistensi mesjid dapat pula dijadikan sebagai sentral muslimah. Oleh karena itu, segala tantangan yang dihadapi muslimah dalam mengembangkan dakwah dapat didiskusikan dari mesjid. Sejarah mencatat perkembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan misalnya, berasal dari mesjid. Perlu diketahui, pada masa kekhalifahan Barat (Abd. Ar Rahman III) tahun 912-961 M dunia Islam menempatkan Universitas Cordova (Spanyol) di dalam mesjid Cordova dengan memiliki lima fakultas, yaitu astronomi, ilmu ukur, kedokteran, ilmu ketuhanan, dan ilmu hukum. Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan di universitas tersebut berasal dari seluruh penjuru dunia, baik muslim maupun nonmuslim.

Itulah sebabnya, kaum muslimah jangan ragu untuk memakmurkan mesjid sebagai induk perjuangan. Atau mungkin kita bangun gedung sentral muslimah sebagai wadah lahirnya generasi mujahidah? Semoga!!! (Encon Rahman)