Meneladani Sikap Malu Sang Baginda Nabi
DAARUTTAUHIID.ORG | Anas bin Malik menyampaikan bahwa suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam mengundang para sahabat untuk menghadiri walimah pernikahan dengan istri beliau, Zainab binti Jahsyi. Setelah acara selesai ada sebagian sahabat pulang.
Namun, Rasullulah tidak enak hati untuk menyuruh sahabatnya untuk pulang. Sampai-sampai Rasullulah memberi memberi pesan dengan cara mondar-mandir keluar masuk rumah agar para sahabat segera meninggalkan rumah, akan tetapi pesan tersebut tidak tangkap oleh sahabatnya.
Kemudian turunlah ayat sebagai solusi atas peristiwa tersebut. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS al-Ahzab: 53).
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam lebih pemalu dari seorang gadis perawan yang berada dalam pingitan. Jika beliau tidak menyukai (sesuatu), maka akan diketahui dari wajahnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadis di atas menerangkan tentang sifat malu yang dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam selayaknya kita mengikuti atau meneladani beliau dengan sifat malu tersebut.
Sifat malu adalah bagian dari iman, hal ini dikisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam berjalan melewati salah seorang sahabat dari kaum Anshar yang sedang memberi nasihat kepada saudaranya tentang malu. Beliau mendengar kemudian bersabda:
“Biarkanlah dia (dengan sifat malunya itu) karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman.” (HR Bukhari).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Allah lebih berhak untuk disegani (bersikap malu kepada-Nya) daripada terhadap orang lain.” (HR Bukhari, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Orang yang punya rasa malu dalam dirinya maka sangat berat hatinya untuk melakukan perbuatan dosa, melakukan kesalahan atau berakhlak berbuat buruk kepada orang lain.