Menyegera dalam Kebaikan

Bisa jadi jejak langkah kita di dunia ini tidak akan lama lagi. Entah hari ini, esok, atau lusa. Kita harus meninggalkan dunia yang fana ini. Kita harus ridho meninggalkannya.

Kita tak pernah tahu kapan kita harus kembali untuk menghadap-Nya. Menghadap dalam makna mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan baik-buruk selama hidup. Kita seringkali melupakan atau pura-pura lupa bahwa, Malaikat Maut tengah bersiap-siap untuk menjemput kita. Setiap saat. Kapan saja!

Kesadaran diri terhadap kehadiran Malaikat Maut seharusnya menjadi cambuk untuk tetap waspada dalam menjalani hidup ini. Simaklah peristiwa di sekitar kita. Banyak saudara atau tetangga yang masih muda belia, mereka duluan menghadap Allah. Sementara di sisi lain, kita juga menyaksikan banyak ibu-bapak yang sudah lansia malah tidak apa-apa.

Sahabat…

Kita tak pernah tahu, berapa lama sebenarnya jatah usia yang Allah titipkan. Yang kita tahu, hanya sebuah harapan yang sedang dijalani dalam siklus kehidupan ini. Harapan yang entah tercapai atau tidak. Ya, sebuah harapan yang kerap membiaskan jatidiri dan eksistensi kita sebagai makhluk tak berdaya di hadapan Kholiknya.

Alquran mensinyalir, kehidupan dunia hanya fatamorgana. Semu. Dan hanya kesenangan yang menipu. Firman-Nya, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takaatsur: 1-2)

Maka, sesungguhnya kebahagiaan di akherat adalah lebih utama dari kehidupan di dunia, sebagaimana Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan (Rab) kami adalah Allah.” Kemudian mereka tetap istiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan .” (QS. Al-Ahqaaf: 13-14). Begitulah sebuah perbandingan nyata, yang bisa dirasa oleh keimanan semata.

Sahabat…

Agar hidup dan kehidupan kita tidak sia-sia, hingga menyesal sepanjang masa. Maka, Rasulullah saw, jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar berhati-hati menggunakan waktu. Nasehat beliau,”Pergunakanlah waktumu sebaik mungkin, karena salah satu pertanyaan di akherat kelak kau gunakan apa waktumu selama di dunia?” Ini yang pertama.

Kedua, kesungguhan memerankan peran. Sebagaimana kita pahami, Allah tidak pernah menilai seseorang berdasar baju sosial yang disandangnya, yang Allah pandang hanya nilai takwa. Maka, apapun peran kita dalam komunitas sosial, peran adalah asesoris. Itulah sebabnya, peran hanya objek pelengkap. Dengan demikian indikator kesuksesan kita di mata Allah, semata-mata karena kesungguhan memerankan peran.

Sebagai umpama jika pada saat ini kita tengah memerankan peran sebagai staf di sebuah perusahaan, maka janganlaah sungkan untuk melakukan pekerjaan yang terbaik sebagai staf. Berkarya dengan baik, bukan karena atasan, bukan pula karena kacamata sosial, tetapi bekerja dengan baik karena kita tahu Allah yang menyuruh agar kita selalu berbuat baik dan sungguh-sungguh.

Firman-Nya, “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan ) yang lain.”(QS. Alam Nasyrah: 7)

Sahabat…

Ketiga, bersegeralah dalam melakukan kebaikan. Dalam menjalani proses hidup setiap orang akan mengalami kondisi ‘jatuh bangun’ . Kondisi itu bukan saja dalam siklus ekonomi, demikian pun dalam perjalanan menuju marifatuillah. Karenanya menjadikan proses ‘jatuh bangun’ sebagai upaya berlindung kepada-Nya merupakan tabiat kemuliaan seorang mukmin.

Nabi dan rasul dalam mengemban risalahnya tidak terlepas dari sisi jatuh bangun. Meskipun demikian, mereka tetap tabah menghadapi segala rintangan. Sebab mereka meyakini bahwa jatuh bangun adalah bagian dari proses pensucian diri.

Kemudian yang keempat, selalu merindukan pertolongan Allah. Menurut KH Abdullah Gymnastiar kriteria kerinduan kepada Allah cirinya terbagi empat yaitu; (1) sering menyebut nama-Nya. (2) selalu ingin dan merasa dekat. (3) selalu ingat. Dan (4) selalu berkorban untuk yang dirindukannya.

Sedangkan yang teerakhir, berusaha melakukan yang terbaik. Kebaikan yang kita lahirkan, tidak akan tersiakan. Karena hal itu dijamin oleh Allah sebagaimana tersurat dalam firman-Nya, “Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya maka ia berada dalam kehidupan yang memuaskan.” (QS. Al Qari’ah: 4-7)

Demikianlah, agar kita terhindar dari perangkap jaring penyesalan yang tiada berakhir, maka bersegeralah dalam melakukan kebaikan. Di samping memanfaatkan waktu dan kesempatan yang kita miliki. (Encon Rahman)