Nabi Isa: Bukti Keberadaan “Kehendak” Yang Maha Mengadakan

Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia)”. (Q.S. al-Imran/3: 59).

Abu Qasim bin Asyakir dan Muhammad bin Ishak dalam kitabnya menyampaikan bahwa silsilah Nabi Isa a.s bersambung kepada Nabi Daud a.s. dari ibu suci tanpa suami yang tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun yang bukan mahram-nya. Nabi Isa a.s. dilahirkan di Baitullaham (Bethlehem) yang berarti “tempat lahir”. Kota ini terletak sekitar 9,5 km di sebelah selatan Yerusalem. Dan ketika Nabi Isa lahir, Bani Israil kala itu sedang dijajah oleh bangsa Romawi.

Beberapa hari setelah kelahiran, Bayi Isa a.s. dibawa pulang ke kampung halaman ibundanya, Siti Maryam. Semua penduduk kampung terheran-heran dengan bayi yang dibawanya. Mereka mencemooh ibunda Maryam karena berpikir bahwa ibunda Maryam telah melakukan hubungan di luar nikah walaupun mereka sadar bahwa ibunda Maryam berasal dari keluarga baik- baik dan perangainya tidak memungkinkan dia berani bertindak demikian.

Ibunda Maryam tidak membalas tuduhan itu dengan kata-katanya. Ia mempersilahkan bayi yang berada dalam buaiannya untuk menjawab dan berkata-kata dengan setiap orang yang menuduhnya. Hujjah ini menjadi bukti konkrit bahwa segala sesuatu yang tidak mungkin akan tetap terjadi manakala Allah menghendakinya.

Bayi Isa a.s. dikhitan pada usia 8 hari. Tindakan ini sesuai dengan syariat yang diberlakukan Nabi sebelumnya, terutama Nabi Ibrahim. Dan seiring pertumbuhannya, orang-orang Yerusalem mengenal Nabi Isa sebagai remaja yang cerdik, pintar, dan berani serta tegas membela kebenaran dan menumbangkan kebatilan. Sikap dan pendirian ini tidak disukai oleh Raja yang berkuasa di Palestina saat itu yang bernama Raja Herodus. Maka, sang Raja menganggap Nabi Isa a.s. sebagai musuh utama dan berencana mengeksekusinya.

Allah berkehendak rencana jahat ini diketahui oleh ibunda Maryam. Selanjutnya ia mengambil sikap. Segera, ibunda Maryam membawa Nabi Isa remaja berhijrah ke negeri Mesir untuk mendapatkan perlindungan. Mereka menetap di sana selama 12 tahun sampai Palestina aman atau raja yang dzalim itu meninggal. Setelah Raja Herodus wafat, Nabi Isa dan ibundanya pun kembali lagi ke negeri Palestina.

Pada usia 30 tahun, kondisi masyarakat Bani Israil semakin tidak jelas. Benar dan bathil bercampur sedemikian rupa sehingga segala sesuatu menjadi “abu-abu” hukumnya. Ada yang mengatakan benar namun banyak pula yang berbeda bahkan menentangnya. Hampir semua pihak bisa menjadi “hakim” bagi setiap perkara yang sedang terjadi sehingga Bani Israil semakin terpecah belah.

Nabi Isa a.s. yang mengerti benar bahwa Bani Israil harus bersatu agar menjadi kekuatan bingung sedemikian rupa. Selanjutnya, ia mengasingkan diri dari keramaian untuk membersihkan hati nurani dan mencari pencerahan agar bisa menemukan jalan keluar dari kondisi ini.

Ketika Nabi Isa a.s. hendak menuju Bukit Zaitun, beliau terjatuh dekat sebuah batu besar. Tiba-tiba, datanglah seseorang yang meminta kepadanya agar menjadikan batu besar itu menjadi roti yang bisa dimakan olehnya. Nabi Isa yang tidak mengetahui maksud permintaan ini tentu tidak mengabulkannya. Bahkan beliau menjadikannya sebagai momen untuk menanamkan Allah Azza wa Jalla di dalam hati dan pikiran lawan bicaranya. Mengetahui responnya seteguh ini, lawan bicaranya bergegas pergi meninggalkannya.

Selanjutya, Malaikat Jibril mendatangi Nabi Isa a.s. dan memberitahukan bahwa orang yang datang tadi adalah Iblis yang sengaja hendak mengganggunya. Nabi Isa bersujud penuh syukur karena selamat dari godaan iblis. Lalu, Malaikat Jibril menyampaikan berkehendak menjadikannya Rasul pelanjut estafeta perjuangan risalah yang Allah berikan kepada Rasul sebelumnya, Nabi Yahya a.s. Wallahu a’lam.

Oleh : ustadz Edu, sumber foto : islamudina.com