Penerima Manfaat Wakaf Tidak Terbatas

Sebelum membahas tentang mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf), perlu sahabat-sahabat ketahui tentang syara-syarat wakaf. Pertama, adanya muwakif (orang atau lembaga yang mengeluarkan wakaf). Kedua, ada nazhir (lembaga yang mengelola dana wakaf). Ketiga, mauquf ‘alaih (yang menerima atau merasakan manfaat dari wakaf).

Syarat-syarat ini saling berhubungan, dan mengikat satu sama lain. apabila salah satu syarat itu tidak terpenuhi, maka wakaf tidak akan berjalan dengan baik. Begitu juga dengan salah satu syarat wakaf yaitu mauquf ‘alaih. Seorang muwakif tidak dapat berwakaf kalau tidak ada penerima manfaatnya.

Perbedaan antara wakaf dan zakat juga banyak. Di antaranya ialah, zakat harus disalurkan kepada delapan golongan (ashnaf), sedangkan wakaf harus disalurkan mauquf ‘alaih yang kriterianya tidak terbatas. Jadi, penerima manfaat wakaf bisa siapa saja. Itulah sebabnya wakaf mempunyai potensi lebih besar dalam memberdayakan umat.

Di lingkungan Pondok Pesantren Daarut Tauhiid (DT) misalnya, yang senantiasa mengutamakan kepentingan pemberdayaan umat, dengan mendirikan Lembaga Wakaf DT. Aset wakaf yang dikelola berupa tanah, bangunan, lahan pertanian, sarana dakwah, sarana pendidikan, dan aset wakaf lainnya, yang manfaatnya dapat dirasakan oleh sebanyak-banyaknya umat.

Uniknya, semua muwakif sudah pasti mauquf ‘alaih. Sedangkan mauquf ‘alaih, belum tentu muwakif. Mengapa? Karena setiap muwakif yang mewakafkan hartanya, ketika sudah dikelola, hasilnya akan kembali dirasakan oleh muwakif sendiri, dengan kata lain, ketika muwakif dapat merasakannya, maka disebut pula sebagai mauquf ‘alaih.

Wakaf juga dapat menjadi tumpuan umat untuk memajukan ekonomi dan kesejahteraan. Keuntungan dari pengelolaan wakaf, misalnya, dapat digunakan untuk membangun sekolah, klinik, memberikan beasiswa pendidikan, membangun masjid, sarana dakwah, media keumatan, pertokoan, serta lahan-lahan yang diwakafkan untuk pertanian maupun perternakan, yang dapat diberdayakan oleh umat.

Seperti contohnya membangun pertokoan di tanah wakaf. Walaupun dikenakan sewa bagi umat yang berjualan di tempat tersebut, akan tetapi uang sewanya itu dikembalikan lagi untuk pengelolaan aset wakaf lainnya, maupun untuk pembebasan lahan wakaf.

Jadi pada intinya, pengelolaan wakaf harus disadari sebagai media dalam syiar dakwah. Namun sikap syiar itu harus diiringi dengan rasa syukur. Terlebih rasa syukur muwakif masih bisa berwakaf, dan syukur mauquf ‘alaih masih dapat merasakan manfaatnya. (Riki Taufik Drajat)