Penyembelihan Ismail
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ (QS. ash-Shaffat [37]: 102).
Ismail as tumbuh dan berkembang menjadi seorang remaja saleh. Didikan ibunda Hajar ra sangat membekas dalam dirinya. Harapan hadirnya seorang anak yang menyenangkan hati sekaligus imam bagi orang bertakwa, dikawal sedemikian hebat. Sampai tibalah masa Allah SWT menguji sejauh mana hasil didikan itu tertanam kuat dalam akal dan jiwanya.
Suatu hari, Allah SWT memberikan mimpi yang tak lazim. Dalam mimpi itu Nabi Ibrahim menyembelih Ismail. Mimpi ini menjadi luar biasa karena berulang selama tiga kali berturut-turut. Bagi masyarakat Arab, hitungan sampai tiga kali berarti memiliki makna banyak. Sebagai seorang yang fathanah, Nabi Ibrahim as sangat mengerti dengan apa yang sedang terjadi dan apa yang harus ia lakukan.
Tanpa berpikir panjang apalagi penuh tashawur (lintasan-lintasan di akal), Nabi Ibrahim bergegas menunaikan petunjuk tersebut. Ia segera menemui Siti Hajar dan Ismail di Mekkah, sebuah negeri tak berpenghuni yang kini berubah berkat kehadiran (mereka) dan keberkahan air zam-zam.
Setelah bertemu Siti Hajar dan bercengkrama dengan Ismail, Nabi Ibrahim memerintahkan Ismail untuk memakai “pakaian terbaik”. Ismail mengikuti perintah ayahnya tanpa banyak bertanya. Setelah semuanya siap, Nabi Ibrahim pun menceritakan perihal mimpi yang dialaminya dan meminta tanggapan Ismail tentang mimpi itu.
Tak disangka, Ismail remaja mampu merespon dengan cermat. Apa yang ia simpulkan atas mimpi itu sama sebagaimana yang disimpulkan ayahnya. Bahkan Ismail menunjukkan kematangannya sebagai remaja dengan pernyataan yang semakin menguatkan ayahnya untuk bersegera menunaikan perintah tersebut. Inilah tanggapan orang yang menjadikan “pakaian takwa’ sebagai “pakaian terbaiknya”.
Jiwa Nabi Ibrahim dipenuhi rasa syukur. Didikan ibunda Hajar sebagai madrasatul uula (sekolah awal) telah mampu mengantarkan Ismail remaja menempati maqam dengan gelar shadiqal wa’di, yaitu pihak yang menepati janji. Ya, semua manusia memang sudah terikat dengan janji yang dulu disampaikan di hadapan Allah SWT sebelum turun ke dunia, yaitu janji siap diatur oleh Allah.
Nabi Ibrahim pun menyiapkan perkakas. Lalu, mereka berdua menuju tempat penyembelihan. Sebelum eksekusi, terjadi kembali dialog. Rasa sayang yang hinggap dalam dada Nabi Ibrahim semakin bertabur haru manakala mendengar sikap mantap anaknya yang menyatakan penuh ikhlas menjalani ketetapan ini.
Nabi Ibrahim selanjutnya membaringkan Ismail dalam posisi siap disembelih. Nabi Ibrahim melafalkan kalimat basmalah sebagai pengantar sampainya golok di leher anaknya. Ismail pun menyambutnya dengan melafalkan dua kalimat syahadah. Tatkala kedua lafal kalimat menuju ujung dan siap mengeksekusi, saat itu pun Allah SWT memanggil Nabi Ibrahim dan berfirman kepadanya.
Keluarga Nabi Ibrahim telah teruji. Mereka mampu menunjukkan sejauh mana kecintaan mereka kepada Allah SWT. Oleh karenanya, Allah pun memberi gelar Nabi Ibrahim dengan gelar khalilullah, kekasih Allah. Dan atas seluruh pengorbanan ini, Allah SWT menyatakan akan membalasnya. Selanjutnya Allah meminta Nabi Ibrahim untuk mengganti Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. Lalu, Nabi Ibrahim pun menyembelihnya.
Demikianlah kisah indah tentang hebatnya kecintaan sebuah keluarga kepada Rabb-nya. Juga gambaran kualitas pendidikan yang diterapkan seorang ibu untuk melahirkan generasi terbaiknya. Keluarga Nabi Ibrahim mampu memerankan itu semua dengan tepat dan cermat, sehingga Allah SWT menetapkan Nabi Ibrahim dan keluarganya sebagai uswatun hasanah. Wallahu a’lam. (diambil dari buku 101 Kisah Nabi, karangan Ust. Edu)