Pesantren, Pendidikan Utama sejak Masa Kolonial

Pendidikan Islam yang paling menonjol kala zaman kolonial adalah pendidikan yang dilaksanakan di pesantren-pesantren. Namun di luar itu sebenarnya pengajaran Islam juga banyak dilakukan di surau atau langgar. Proses pendidikan di surau sifatnya tidak formal. Materi yang diajarkan adalah pengetahuan agama. Namun sebenarnya yang terjadi di sana bukan sekadar belajar dalam arti mempelajari rumpun ilmu secara kognitif. Di sana juga terjadi pembudayaan nilai. Jadi, surau adalah representasi pembudayaan nilai-nilai kultural (learning society).

Secara khusus, lembaga pendidikan Islam yang berkembang masif dan secara khusus dijadikan sebaga tempat belajar adalah pesantren. Berbeda dengan surau yang para muridnya umumnya adalah warga sekitar dan hanya belajar pada waktu-waktu tertentu. Pesantren secara khusus memang dikondisikan sebagai tempat belajar. Pada murid berkumpul dan tinggal di situ, bersama dengan seorang atau beberapa guru ngaji.

Asal Usul

Mengenai asal-usul pesantren setidaknya ada dua pendapat utama. Ada yang berpendapat bahwa pesantren berasal dari tradisi Islam secara murni. Model pendidikan pesantren ini adalah pola pendidikan tasawuf. Pola semacam ini dapat ditemukan di Timur Tengah dan Afrika Utara yang disebut dengan zawiyat. Sebagian yang lain berpendapat bahwa model pendidikan pesantren adalah warisan tradisi Hindu-Buddha yang mengalami proses islamisasi. Hal ini dapat ditelusuri misalnya dari kata “santri” sebutan untuk murid di pesantren yang berasal dari kata shastri (bahasa Sansekerta), atau cantrik yang merupakan sebutan bagi murid dalam sistem pengajaran Hindu-Buddha.

Ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren, sebagaimana telah disinggung sebelumnya adalah khusus ilmu-ilmu agama. Pengajarnya umumnya satu orang ulama atau kiai yang kemudian dibantu oleh para murid-muridnya yang telah mumpuni. Metode yang digunakan adalah sorogan dan wetonan/bandungan. Sorogan adalah metode belajar secara individual. Seorang santri membawa satu kitab tertentu dan belajar langsung dengan guru. Sedangkan wetonan/bandungan adalah belajar dengan sistem klasikal. Guru membacakan satu kitab dan beberapa santri menyimak.

Pesantren belum mengenal kurikulum dalam arti yang lebih sistematis sebagaimana dalam pendidikan modern. Jenjang dan batas waktu belajar misalnya tidak jelas. Semua itu lebih bergantung pada individu yang belajar. Namun demikian, dalam arti yang lebih luas di sana sebenarnya sudah ada kurikulum. Setidaknya ada daftar kitab-kitab yang biasa dikaji dan pentahapan untuk mempelajarinya.

Kurikulum

Menurut Karel A. Steenbrink semenjak akhir abad ke-19, pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda. berdasarkan wawancaranya dengan para kiai, dia mengkomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai di pesantren-pesantren Jawa dan umumnya Madura. Kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan di pesantren. Kitab-kitab tersebut meliputi kitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawuf, dan tafsir. Karel A. Steenbrink menyimpulkan bahwa kebanyakan kitab-kitab yang dipakai di pesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam.

Ada perbedaan yang mendasar antara pendidikan pesantren dengan pendidikan Belanda. Pendidikan pesantren bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan Tuhan (theosentris), sedangkan pendidikan Belanda bertujuan untuk membina manusia hubungannya dengan kehidupan (antroposentris). Harus diakui bahwa sistem pendidikan Barat zaman kolonial lebih handal dan sistematis. Sedangkan sistem pendidikan pesantren zaman itu masih bersifat tradisional. Hal inilah kemudian yang menyebabkan umat Islam tertinggal terutama dalam membangun tata kehidupan yang berkemajuan.* (Gian)

*disunting dari Pembaharuan Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan oleh Abdul Mu’thi

ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi