Rahasia Kecerdasan Para Ulama

Islam adalah agama yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai pusat aktivitas. Demikian pula dalam proses belajar dan mengajarkan ilmu, tidak ada ruang bagi selain Allah dan Rasul-Nya. Ketika mencari ilmu, niat kita harus lurus untuk mendapatkan rida Allah.

Rasulullah saw mengingatkan, “Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barang siapa seperti itu maka baginya neraka.” (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Mengapa tidak boleh menuntut ilmu untuk tujuan selain Allah? Ada banyak argumen yang dapat diungkapkan untuk menjawab pertanyaan ini. Namun ada satu hal yang jarang dibahas, yaitu bahwa menuntut ilmu bukan karena Allah. Akan tetapi karena haus pujian dan ingin mendapatkan harta yang banyak sangat rentan terhadap kekecewaan dan rasa frustasi. Apalagi jika target yang diharapkan dari menuntut ilmu tersebut tidak tercapai.

Lain halnya ketika kita menuntut ilmu dengan dasar ketaatan kepada Allah Ta’ala. Ada tidaknya penghargaan dari manusia tidak akan membuatnya kecewa atau larut dalam kekecewaan. Hidupnya tetap tenang dan tenteram. Ilmu yang sedikit menjadi optimal karena dipraktikkan dalam amal keseharian. Daya serap otak terhadap cahaya ilmu pun akan berlipat ganda.

Inilah yang terjadi pada kebanyakan para ulama kita terdahulu. Walaupun fasilitas sangat minimal, penguasaan mereka terhadap beragam disiplin ilmu sangat luar biasa. Karya-karyanya pun masih dapat kita temui dan dipelajari sampai sekarang.

***

Pada dasarnya kemampuan otak manusia itu tidak terbatas. Bayangkan saja kapasitas memori otak manusia mencapai 280 kuintibiliun! Nah, para ulama yang memiliki kemampuan multitasking dan multitalent ini bermula pada kemampuannya dalam menyerap, menyimpan, mengolah, dan mengeluarkan informasi yang didapatnya. Itu semua terjadi dalam otaknya yang memiliki kapasitas yang sebenarnya sama dengan kita.

Sekarang ini teknologi otak banyak dipergunakan dalam teknologi informasi. Longterm evolution ini menggunakan flatform yang namanya MANETS atau mobile ad hoc networks yang meniru cara kerja semut. Sekumpulan semut biasanya akan bekerja dengan cara menyebar. Agar tidak tersesat, mereka mengeluarkan zat kimia yang bernama feromon sepanjang jalur yang dilewati agar mereka bisa kembali ke tempat asalnya. Semut yang “gembira” karena berhasil menemukan makanan paling dekat akan pulang ke sarang dengan mengeluarkan lebih banyak feromon.

Apabila kita lihat, jalur pergi dan pulangnya menjadi lebih tebal dibandingkan teman-temannya yang lain. Lalu, jalur dia pulang akan diikuti oleh semut-semut lain. Akibatnya jumlah feromon yang ada di jalur ini menjadi semakin tebal karena dilewati banyak semut yang masing-masing mengeluarkan feromon. Karena feromon sangat kuat, semut-semut pun tidak perlu lagi mencari-cari jejak temannya karena jalur yang pasti sudah tersedia.

Cara kerja neurotrasmitter di sinaps-sinaps otak manusia pun memiliki mekanisme kerja yang serupa dengan jalur-jalur semut tadi. Apabila otak sering dipakai dan dipakainya itu ada dalam konteks dukungan dari hipokampus yang mengatur ketenangan dan proses belajar, proses penyerapan informasi pun akan menjadi lebih optimal. Ini artinya, kalau tidak dipakai untuk kejahatan atau berbangga diri, ilmu yang kita pelajari akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi diri dan orang lain.

Ketika seseorang menapaki proses belajarnya dilandasi ketenangan dan motivasi untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, di otaknya seolah-olah muncul jalur-jalur supercepat yang akan dengan mudah dilalui bit-bit informasi. Kalau sudah terbentuk jalur yang supercepat, data-data dari stimulus ini akan menjadi seperti semut yang pulang kandang. Apa pun data yang masuk menjadi nyantol dan mudah dipahami.

Jadi, di sinilah konsep MANETS digunakan. Jalur-jalur di otak para ulama yang ikhlas seakan sudah dipetakan. Data-data yang masuk pun (yaitu berupa informasi tentang materi-materi keilmuan) akan langsung nyambung dan berjalan di tempat yang seharusnya. Ada semacam jalur GPS di sini. Namun sebaliknya, apabila otaknya sedang ruwet karena faktor ketidaktenangan dan ketidakikhlasan, data-data yang masuk akan sulit untuk disambungkan karena tidak ada cantolannya. Jalur yang sudah terbentuk hanya koneksi terkait satu ilmu saja.

Kesimpulannya, seorang penuntut ilmu akan lebih cerdas dan lebih mudah menyerap ilmu apabila dia menjalankan proses belajarnya dengan landasan cinta dan keinginan untuk mendapatkan ridha Allah Ta’ala. Bukan untuk harta, jabatan, dan popularitas. (Tauhid Nur Azhar)

sumber foto: Muslim.Or.Id