Sejarah Al-Quran (Bagian 1)

Telah jelas kita ketahui bahwa Al-Quran itu diturunkan berangsur-angsur. Sesaat setelah turun, kebanyakan para sahabat akan menghafalnya. Setiap turun Al-Quran, Nabi Muhammad saw menyuruh para penulis wahyu untuk menulisnya. Akan tetapi walaupun dicatat oleh para penulis wahyu, Quran belumlah terkumpul dalam satu mushaf atau dalam satu buku. Para sahabat di masa Nabi Muhammad saw masih hidup menulis wahyu pada kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma, dan pada batu-batu. Mereka menulis Al-Quran pada benda-benda tersebut karena kertas pada masa itu belum ada.

Musailamah Sang Nabi Palsu

Setelah Nabi Muhammad wafat dan Abu Bakr menjadi khalifah, bergeraklah seseorang bernama Musailamah al-Kadzzab, dia mendakwahkan diri sebagai nabi baru. Musailamah mengembangkan khurafatnya dan kebohongan-kebohongan yang mana dia dapat mempengaruhi Banu Hanifah dari penduduk Yamamah hingga mereka menjadi murtad.

Maka setelah Abu Bakr mengetahui tindakan Musailamah itu, beliau menyiapkan suatu pasukan tentara yang terdiri dari 4.000 pengendara kuda yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Pasukan Khalid berangkat untuk menggempur mereka. Dan banyaklah para sahabat yang gugur syahid di masa itu. Di antara sahabat yang gugur itu ialah Zaid bin Khattab; saudaranya Umar bin Khattab. Selain daripada itu syahid pula 700 penghafal Al-Quran.

Dampak Perang Yamamah dan Usulan Umar

Pertolongan Allah pun datang, tentara Musailamah hancur dan lari. Umat Islam mengejar mereka dan mengurung tentara musuh itu dalam suatu kebun kurma, al-Barra bin Malik menaiki tembok kebun dan menjatuhkan dirinya ke dalam benteng, lalu membuka pintu. Setelah tentara Islam dapat masuk ke dalam barulah Musailamah dan kawan-kawannya dapat dikalahkan. Kebun tersebut dinamai kebun mati. Pembunuh Musailamah adalah Wahsyi bin Harb yang telah menjadi muslim, orang yang juga membunuh paman Nabi, Hamzah bin Abdul Muthalib saat Perang Uhud. Dia pernah berkata, “Saya telah membunuh orang yang paling baik (Hamzah) dan saya telah membunuh pula orang yang paling jahat (Musailamah).”

Melihat yang demikian, yakni banyaknya sahabat penghafal al-Quran yang gugur, timbul hasrat dalam diri Umar bin Khattab untuk meminta kepada Abu Bakr agar Quran itu dikumpulkan. Beliau khawatir jika al-Quran berangsur-angsur bisa hilang kalau hanya dihafal saja, karena para penghafal kian berkurang jumlahnya.

Zaid bin Tsabit Sang Penulis Wahyu

Abu ‘Amar dalam kitab al-Muhkam menerangkan bahwa Zaid bin Tsabit berkata, “Umar bin Khattab datang kepada Abu Bakr, lalu mengatakan bahwa peperangan Yamamah telah banyak memusnahkan para qurra`. Umar takut akan hilang al-Quran, karena itu beliau meminta supaya tuan (Abu Bakr) menuliskannya.”

Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam sahihnya, dari Zaid bin Tsabit ujarnya, “Abu Bakr memberitahu kepadaku tentang orang-orang syahid dalam peperangan Yamamah, lalu aku pun datang kepada Abu Bakr. Kebetulan Umar ada di majelis Abu Bakr. Abu Bakr berkata, ‘Umar datang kepadaku menerangkan bahwa peperangan Yamamah telah memusnahkan para qurra` dan ia takut akan terus-menerus dimusnahkan oleh peperangan-peperangan yang menyebabkan hilangnya Al-Qur`an.’

Saya (Zaib bin Tsabit) menjawab, ‘Bagaimana kita lakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul?’ Umar berkata, ‘Ini, demi Allah, sesuatu perbuatan yang baik.’ Umar terus-menerus mendesakku menulis al-Quran, sehingga Allah melapangkan hatiku untuknya dan mengakui kebenaran pendapat Umar. Lalu Umar berkata, ‘Abu Bakr bercerita kepadaku, engkau wahai Zaid ialah seorang pemuda yang berakal. Kami percaya keagamaanmu. Kamu seorang penulis wahyu di masa Rasulullah saw. Maka periksalah al-Quran atau carilah shuhuf-shuhuf al-Quran dan teliti satu per satu kemudian kumpulkan.’”

Begitulah awal tugas berat mengumpulkan Quran. Zaid bin Tsabit pun mengungkapkan, “Demi Allah sekiranya mereka membebankan aku membawa gunung tiadalah yang demikian itu lebih berat dari mengumpulkan al-Quran.”* (Gian)

*Disunting dari Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur`an karya M. Hasbi A.

ket: ilustrasi foto diambil saat sebelum pandemi