Berdagang sebagai Jihad

Ingin kaya? Jadilah pedagang. Jangan jadi karyawan. Salah satu hal yang membedakan antara seorang pedagang dengan seorang karyawan adalah sikapnya pada saat berusaha. Seorang pedagang, cenderung berani mengambil resiko, lebih sabar, suka tantangan dan agresif. Sedangkan karyawan, cenderung pasif, tidak berani mengambil resiko, dan tidak suka tantangan.

Tanggungjawab seorang pedagang lebih tinggi, sebab tingkat pendapatannya ditentukan oleh kesabarannya. Jika kinerjanya tinggi, maka penghasilannya tinggi. Begitupun sebaliknya. Sisi lain, kekuatan ruhiyah pedagang lebih besar. Kondisi ini disebabkan karena ada pemahaman,’berdagang itu bukan sekedar jualan.’ Artinya, tanpa diimbangi kekuatan ruhiyah maka apa yang diupayakannya tidak akan optimal.

Begitupun dalam menghadapi urusan keuangan. Seorang pedagang dituntut tidak ceroboh, boros, dan harus memiliki karakter yang efektif dan efesien. Hal berbeda apa yang dilaksanakan karyawan. Seorang karyawan sudah ditentukan porsi pendapatannya sehingga yang bersangkutan tidak tertantang dan ada kecenderungan kinerjanya ‘tetap rendah’ karena faktor kepastian gaji dalam setiap bulan. Dari sisi ruhiyah, seorang karyawan sedang-sedang saja. Faktor itu disebabkan karena nilai target yang diembannya dirasa sebagai tugas bukan sebagai tanggungjawab. Sedangkan dalam tataran pengelolaan keuangan, seorang karyawan cenderung sangat ketergantungan pada perusahaan dimana ia bekerja. Dampaknya, ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, misalnya PHK, perusahaan bangkrut dsb. yang bersangkutan mengalami depresi.

Cara pandang dan pola pikir pedagang terhadap persoalan lebih terbuka dan proaktif. Sedangkan karyawan statis. Lebih daripada itu, seorang pedagang dituntut lebih jujur dan amanah pada sat melaksanakan transaksi. Sabda Rasululllah, “Seutama-utama usaha dari seseorang adalah usaha para pedagang yang bila berbicara tidak bohong, bila dipercaya tidak berkhianat, bila membeli tidak menyesal, bila menjual tidak mengada-ada, bila mempunyai kewajiban tidak menunda, dan bila mempunyai hak tidak mempersulit (HR. Ahmad, Thabrani dan Hakim). Pada hadis lain dikemukakan,”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian berusaha, maka oleh sebab itu hendaklah kalian berusaha.” (HR. Thabrani).

Membuka Pintu Rezeki
Membaca perbedaan antara kinerja seorang pedagang dengan seorang karyawan ibarat bumi dan langit. Oleh karena itu, amatlah wajar jika dalam pemerolehan hasil pun jauh berbeda. Kita menyaksikan, banyak orang menjadi kaya dari muamalah. Sedangkan banyak karyawan yang tetap pas-pasan sepanjang hayatnya. Realita yang kita lihat sebenarnya seirama dengan apa yang pernah disampaikan Rasululllah,”Sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki.” (HR Ahmad). Maksudnya, sepuluh pintu rezeki di buka oleh Allah sembilan di antaranya ada di dunia perdagangan. Allah membuka sepuluh pintu bagi semua manusia untuk mendapatkan harta, dan sembilan di antaranya di buka untuk dunia dagang.

Seirama dengan asumsi di atas, Prof. DR. Syahrin Harahap dalam buku “Membangun Jaringan Waralaba Wong Solo” mengungkapkan, secara simpel dapat dipahami kelebihan berdagang dalam arti kuantitatif, sebab Rasulullah melakukan aktivitasnya dalam bidang ini. Tetapi jika dikaji lebih dalam, hadis ini tampaknya lebih mengacu pada makna kualitatif. Artinya, posisi strategis dari usaha perdagangan itu terletak pada banyaknya kesempatan untuk melakukan kebajikan, sejajar dengan peluang untuk melakukan kecurangan di dalamnya.

Sebagai Lahan Jihad
Sahabat Abu Bakar sebelum jadi khalifah dikenal sebagai pedagang kain. Beliau seorang pekerja keras. Menurut Muhamad Nur Ali dalam buku “60 Kisah Teladan Sepanjang Masa” menjelaskan, ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, kekayaannya mencapai 40.000 dirham, nilai yang sangat besar saat itu. Sejarawan kristen, Jurji Zeidan berkomentar,”Zaman khalifah-khalifah yang alim adalah merupakan keemasan Islam. Khalifah-khalifah itu dikenal karena kesederhanaan, kejujuran, keimanan dan keadilannya. Ketika Abu Bakar masuk Islam ia memiliki 40.000 dirham, jumlah yang sangat besar waktu itu. Akan tetapi ia habiskan semua termasuk uang yang diperolehnya dari perdagangan demi memajukan agama Islam. Ketika wafat, ia tidak mempunyai apa-apa kecuali uang satu dinar. Ia biasa jalan kaki ke rumahnya maupun ke kantornya. Jarang terlihat dia menunggang kuda.” Keikhlasannya yang luar biasa demi kemakmuran rakyat dan agamanya itu, kata Jurji, sampai-sampai menjelang wafatnya, Abu Bakar memerintahkan untuk menjual sebidang tanah miliknya dan hasilnya dikembalikan kepada masyarakat sebesar jumlah uang yang telah ia ambil dari rakyatnya itu sebagai honorarium, dan selebihnya dikembalikan ke Baitul Maal watt Tamwil, lembaga keuangan negara.”

Abu Bakar termasuk dalam golongan Al-a’syarah Al-mubasyiriina bil Jannah (sepuluh orang yang dijamin Rasulullah bakal masuk Surga). Ketetapan ini, logis sebab pengorbanan Abu Bakar dengan harta hasil perniagaan itu sejalan dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan Rasuk-Nya dan berjiha di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.”(QS. 61: 10-11).

Ringkas kata, jika kita menjadi pedagang maka kesempatan untuk menjadi mujahid-mujahidah terbuka lebar. (Encon Rahman)