Efek Masturbasi (bag. 1)

Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya …” (QS. An-Nûr: 33)

Pemenuhan kebutuhan seksual termasuk hal paling mendasar bagi manusia selain sandang, pangan, papan. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, seseorang akan mengalami “gangguan” kejiwaan, mulai dari ringan sampai berat. Masalahnya, tidak semua orang bisa bebas menyalurkan gairah seksualnya kepada lawan jenis, baik karena tiadanya pasangan yang sah atau sudah punya pasangan akan tetapi tidak bisa berhubungan secara normal karena faktor tertentu. Dalam keadaan seperti ini, masturbasi (atau onani kerap dipilih sebagai solusi paling aman sehingga gairah seksual tadi dapat tersalurkan.

Pada dasarnya, onani atau masturbasi (istimna’) adalah mengeluarkan mani bukan melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya. Pada praktiknya ada beragam cara masturbasi yang dilakukan orang, yaitu mulai dari menggosok kemaluannya menggunakan tangan, menggosokkan kemaluan pada suatu benda, menggunakan mainan seks berfantasi, menonton video porno, dan sebagainya. Apapun caranya, semuanya bertujuan sama, yaitu menyalurkan kebutuhan biologis tanpa melakukan hubungan seks dengan pasangan dengan cara merangsang bagian sensitif dari alat kelamin sehingga terjadi ejakulasi atau sensasi seksual lainnya.

Bagaimana pandangan Islam terhadap praktik masturbasi atau onani ini? Apabila kita membuka kitab Fiqhus Sunnah karya Syaikh Sayyid Sabbiq, kita akan menemukan sejumlah perbedaan pendapat di antara para ulama fikih tentang haram tidaknya onani atau masturbasi. Para ulama dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Zaidiyah misalnya menganggap bahwa onani adalah perbuatan haram.
Hal ini didasarkan pada perintah Allah dalam Al-Quran bahwa orang-orang beriman telah diperintahkan untuk untuk menjaga kemaluan dalam segala kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Pelanggaran terhadap hal tersebut dikatagorikan sebagai perbuatan yang melampaui batas.

Dasar hukumnya adalah surah Al-Mu’minûn ayat 5-7 dan surah An-Nûr ayat 33.
Adapun Mazhab Hanafi menganggap bahwa masturbasi hukumnya haram dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya. Ulama Mazhab Hanafiah berargumen bahwa onani menjadi wajib apabila seseorang akan jatuh pada perbuatan zina jika tidak melakukannya. Dalam konteks ini, masturbasi dianggap sebagai emergency exit alias pintu darurat, di mana seseorang akan celaka apabila tidak melewati pintu tersebut.

Hal ini didasarkan pula pada kaidah untuk mengambil kemudharatan yang lebih ringan daripada terjatuh pada kemudharatan yang lebih besar. Akan tetapi, dalam kondisi “normal”, ulama Mazhab Hanafi mengharamkan praktik masturbasi bagaimana pun caranya, terlebih jika praktik tersebut dilakukan hanya sekadar untuk bersenang-senang. Hampir senada dengan Mazhab Hanafi, para ulama Mazhab Hanbali mengharamkan onani atau masturbasi kecuali ketika seseorang takut jatuh ke dalam praktik perzinahan atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri dan tidak memiliki kemampuan untuk menikah.

daaruttauhiid.org